Saturday 17 August 2019

Basa-basi

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@thoughtcatalog?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Thought Catalog</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/desk?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>



Saya tidak tahu harus memulai dari mana, tapi percayalah, membiarkan blog ini terbengkalai setahun lebih lamanya membuat saya dibayang-bayangi perasaan bersalah terus-terusan. Bahkan saya hanya mampu menulis tiga tulisan saja pada tahun 2018. Memalukan. Terlepas dari pekerjaan saya yang sekarang memang menulis, saya ragu saya pantas disebut penulis.

*

Bagi saya, menulis adalah satu-satunya hal yang paling mampu dan paling gemar saya lakukan sejak pertama kali menulis cerita di umur... 12 tahun? Saya tidak ingat kapan persisnya, tetapi saya tidak pernah berhenti menulis sejak saat itu. Sampai ketika kuliah saya rampung. Setelah itu? Kenyataan hidup menampar saya berkali-kali di wajah. Menghadapi berbagai problematika membuat saya tidak sanggup jika masih harus memikirkan bahan tulisan lagi. Saya memang selemah itu, dan enggan berusaha tentunya. Padahal menulis sudah seperti terapi bagi jiwa saya, tapi malah telak-telak saya tinggalkan kegiatan itu.

Realita dan dunia nyata seperti membuat saya kehilangan daya khayal. Saya terlalu menjajak di bumi, sedangkan saya selalu butuh untuk berada di awan jika saya ingin menulis dengan benar. Kadang saya juga berpikir, mungkin saya lupa pernah meninggalkan otak saya di suatu tempat, entah di mana. Bisa jadi di lorong kampus saya dulu, tempat yang lebih cocok disebut penjara daripada kampus. Mungkin juga tertinggal di jalanan ketika saya tak gentar bermotor di bawah terik matahari Pekanbaru atau di kala hujan deras mengguyur, dengan alasan sedang ingin keliling kota untuk sekadar cari inspirasi. Ya, saya dulu memang seniat itu. Yang jelas, menulis dengan lancar lambat laun menjadi semakin sulit untuk saya lakukan. Ini membuat saya cemas dan sedih.

Saya tidak pernah merasa bahwa tulisan-tulisan saya bagus, sekalipun ada segelintir orang yang bilang bahwa yang saya tulis bagus. Entah mereka jujur atau hanya ingin menyenangkan perasaan saya saja. Namun, saya menulis bukan karena saya ingin dipuja, ingin viral, atau apapun lah itu. Saya menulis karena saya menyukai menulis, tidak peduli itu buruk di mata semua orang yang membacanya. Sesederhana itu.

Seingat saya, saya yang dulu adalah seorang yang sangat pendiam. Jika kau mengenalkan secara personal, pada masa-masa itu saya seperti seseorang yang selalu murka pada dunia, dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. Setidaknya sampai lulus kuliah. Lambat laun hingga menjelang kelulusan, tingkat pendiam saya semakin lama semakin berkurang. Itu terjadi karena saya berusaha untuk belajar menjadi manusia yang lebih supel, dan tidak melulu sebal ketika melihat orang lain yang kelewat ramah atau bicara tanpa arti terlalu banyak di depan saya. Ya, tidak banyak yang keluar dari mulut saya pada masa-masa itu. Nyatanya, kebiasaan memendam banyak hal di dalam diri dan pikiran sendiri ini lebih banyak tidak enak dan ruginya. Rugi karena saya sering merasa kepala saya hampir meledak setiap kali saya tidak mengungkapkan sesuatu yang perlu saya ungkapkan. Saya seringkali lebih memilih bisu.

Alasan itu lah yang membuat saya mulai menulis.

Saya mulai menulis karena ada suara-suara yang tidak pernah bisa padam di dalam kepala. Saya menulis karena ada hal-hal yang perlu saya utarakan. Bagi diri saya yang dulu, berbicara seringkali sangat sulit, maka saya menulis, karena itu jauh lebih baik daripada saya hanya diam saja. Saya sadar saya tidak akan mengubah apapun dengan diam.

Setelah kelulusan, saya memutuskan untuk hijrah ke ibukota. Keputusan yang sampai saat ini masih saja saya pertanyakan: apakah keputusan ini tepat? Bekerja, bergaul dengan banyak orang baru, bahkan harus mampu melakukan small talk dengan driver ojek online sedikit banyak melatih kemampuan interpersonal saya. Tentu saja saya masih lebih menikmati jika harus diam berjam-jam, akan tetapi berbicara tidak lagi jadi persoalan besar bagi saya dalam dua hingga tiga tahun terakhir. Di sini lah masalah bermula: berbicara seolah mematikan pikiran saya.

Tentu saja pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Namun, dalam beberapa konteks, kalimat tersebut menjadi sangat relevan dengan yang saya alami. Berbicara membuat saya tidak lagi memendam banyak hal. Hubungan saya dengan ibu pun semakin dekat. Kami berjauhan, tapi saya merasa sangat dekat dengan ibu setelah kami sudah terpisah pulau. Saya jadi lebih sering bercerita, tentang apa saja. Ya, lagi-lagi ini membuat saya tidak memendam banyak hal, sehingga saya merasa tidak ada lagi kegundahan yang perlu saya ungkapkan lewat tulisan. Katanya penulis harus beteman dengan kesedihan dan kemuraman dunia, maka ia akan menelurkan karya-karya yang indah. Setidaknya begitu yang saya rasakan. Puisi dan prosa saya biasanya muncul ketika saya sedang muram. Well, saya tidak bilang karya saya indah, sih, tapi kau pasti paham maksudnya.

Hidup saya yang seorang sendiri di tanah rantau tidak mulus-mulus amat, tentu saja. Sebenarnya tidak seratus persen tanah rantau, karena saya dulunya pun lahir dan pernah tinggal di kota yang gila ini. Keluarga besar dari pihak orang tau saya pun banyak di tanah ini. Namun, saya lebih sering sendiri daripada berkunjung ke tempat mereka. Pada kenyataannya saya memang seorang penyendiri. Hidup sendiri tentu punya banyak persoalan dan memicu kemelut di dalam perasaan. Soal pekerjaan, kehidupan, ditambah lagi percintaan yang tidak pernah jelas juntrungannya. Namun, tetap saja itu seperti tidak cukup untuk memicu otak saya berpikir agar mampu menulis cerita lagi. Hampir tiga tahun terakhir saya hanya mampu menulis puisi-puisi basi yang panjangnya hanya beberapa baris saja. Tidak lebih dari itu, dan tidak pernah bagus hasilnya. Hati saya tidak puas. Oh, hal lain yang saya mampu tulis adalah caption di halaman media sosial saya. Ugh, sungguh tidak membanggakan. Saya mengutuk diri sendiri; mengapa kau begitu bodoh? Bahkan untuk menyelesaikan tulisan ngalur-ngidul di blog ini saja saya kesulitan.

Oh, sungguh saya tidak ingin berpanjang-panjang kata dalam basa-basi ini. Saya pun tidak yakin blog ini masih ada yang membaca, walaupun beberapa tahun lalu tempat hampa ini pernah ramai dikunjungi oleh entah siapa. Bahkan pernah ada yang terang-terangan menjiplak seluruh isi blog ini tanpa terkecuali. Meskipun pada saat itu saya kesal, saya anggap itu sebagai sebuah pencapaian.

Inti dari tulisan ini adalah saya ingin kembali menulis seperti dulu. Sesering dulu dan selancar dulu, dengan ide-ide yang dulu seringkali sulit saya bendung. Saya ingin mewujudkan mimpi-mimpi yang sejak dulu saya punya. Kau harus percaya, saya sudah tidak sepemalas dulu lagi sekarang, jadi seharusnya apa-apa saja yang saya impikan dapat saya usahakan dan wujudkan pelan-pelan. Saya ingin melanjutkan belasan bahkan puluhan naskah yang sudah terbengkalai selama bertahun-tahun itu, atau meyusun naskah-naskah dengan cerita-cerita baru. Semoga pekerjaan saya yang baru tiga minggu saya jalani saat inimenjadi seorang copywriter dan penulis lepastidak mempersulit semua keinginan itu. Ya memang seharusnya tidak mempersulit, bodoh! Otakmu saja yang sulit diajak berpikir.

Ya sudah, sebelum tulisan kopong ini semakin panjang dan tak tentu arah, sepertinya saya harus berhenti, lalu tidur. Sesungguhnya saya sudah lelah sejak pukul 10 malam tadi karena meeting seharian. Ah, Fin, kau benar-benar terlalu banyak bicara sekarang. Pukul segini bukan saat yang tepat untuk mengeluh.

Baiklah. Jadi, selamat tidur.


2.27 AM

Tuesday 10 April 2018

Kencan Daring dan Kisah Cinta Hilang Makna

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@priscilladupreez?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Priscilla Du Preez</a> on <a href="https://unsplash.com/?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>



Kalau dipikir-pikir, mungkin adalah sebuah hal konyol ketika saya dan jutaan warga dunia lainnya menggantungkan urusan cinta kepada sebuah aplikasi gratisan yang menjanjikan seorang belahan jiwa dan berharap sang jodoh akan tiba secara cuma-cuma dari gawai seukuran telapak tangan. Geser ke kiri dan ke kanan, semudah itu kini menilai ratusan orang asing yang berpotensi untuk jadi sang jodoh kelak. Tanpa perlu pikir panjang, tidak usah buang-buang waktu, cukup mudah menentukan suka atau tidak suka.

Manusia memang se-judgemental itu, semua dapat kita nilai dan pilih seenak jidat tanpa perlu repot-repot mengenal para calon kekasih itu terlebih dulu, bahkan berhasrat untuk mengenal pun tidak. Semua bisa langsung dinilai berdasarkan data yang sangat ala kadarnya: wajah, umur, pekerjaan yang tertera — itu pun kalau ada, dan foto-foto terbaik yang dipajang dengan narsisnya. Percayalah, beberapa tahun terakhir saya habiskan waktu swipe sana-sini hanya untuk mengisi kebosanan. Semua niat untuk kenalan akan luntur ketika matched dengan seseorang di sana, apalagi ketika menemukan fakta bahwa mereka tidak menarik-menarik amat karena kalimat pertama yang mereka lontarkan hanya sekadar perkara tinggal dan bekerja di mana.

Lalu apakah salah berharap sesuatu yang besar dan wah akan terjadi dengan cara instan dan mudah? Berharap dapat jodoh padahal usahanya hanya sebatas geser jempol ke kiri dan kanan. Saya tidak bilang bahwa kencan daring mutlak untuk orang-orang yang putus asa alias hopeless. Well, in some part, maybe it is hopeless, but we also know that we use our phone and internet a lot on a daily basis. We even talk more on the internet than we do in our real lives, jadi saya rasa tidak ada salahnya mencari calon pujaan hati di internet. Toh, kata orang jodoh itu jorok karena bisa ditemukan di mana saja, termasuk dunia maya.

Manusia adalah makhluk dinamis, adaptif terhadap perubahan, termasuk dalam urusan mengikuti perkembangan zaman. Entah itu baik atau buruk, teknologi yang maju saat ini sedikit banyak telah mengubah cara manusia menjalani hidupnya: bekerja, bersosialisasi, dan soal uruan mencari jodoh. Memang ada fakta bahwa banyak yang menemukan jodohnya dan menikah dengan seseorang yang mereka temukan di internet, melalui aplikasi kencan daring, media sosial, dan semacamnya-dan semacamnya. Bahkan seorang teman dari kantor lama saya memutuskan menikahi istrinya saat ini setelah bertemu di Tinder dan melakukan penjajakan selama kurang dari setahun. Namun, itu semua adalah sisi indah dari balada pencarian jodoh di dunia maya. Jika itu terjadi padamu, maka beruntunglah kau. Sisi buruknya? Sepertinya lebih banyak. Mulai dari munculnya fenomena ghosting — tiba-tiba muncul dan tiba-tiba hilang seperti hantu, hingga kisah kencan daring mengerikan lainnya yang bisa dengan mudah ditemukan di internet.

Kencan daring yang populer beberapa tahun terakhir tanpa disadari telah membentuk pandangan dan pola pikir manusia terhadap definisi hubungan itu sendiri. Kencan daring memberikan begitu banyak kemudahan dan pilihan; seseorang akan diberikan pilihan berupa ratusan perempuan cantik dan lelaki tampan yang diidam-idamkan seperti yang ada dalam khayalan. Hal ini membuat banyak orang menjadi bersikap cukup “seenaknya”, semudah dan seenak geser ke kanan dan kiri tentunya. Untuk apa susah payah berusaha kalau semuanya sudah sangat mudah sejak awal? Pendekatan dengan cara-cara instan pun dilakukan, bertemu sekali, dua kali, dan ketika ada sesuatu yang dirasa merepotkan lebih baik tinggalkan saja, lalu silakan buka kembali aplikasi kencan daringmu dan move on ke pilihan selanjutnya.

Hasrat untuk mendapatkan jodoh idaman dengan cara mudah dan instan seperti ini membuat kisah cinta menjadi kehilangan makna. Tidak benar-benar ada kedekatan emosi yang mendalam, atau untuk sekadar mencari tahu sang calon pasangan suka makan di mana dan apa warna favoritnya, karena sebelum tahu apa saja kesukaan dan ketidaksukaannya, semuanya sudah usai begitu saja. Seseorang begitu mudahnya berubah pikiran, menyerah, dan meninggalkan sebelum pernah benar-benar berusaha untuk mempertahankan. As if meeting someone through an app make them less of a human, so it’s okay to hurt each other’s feelings and leave when things get inconvenient. Such an ugly truth.

Faktanya, seinstan apapun, mie instan saja tetap butuh proses dalam penyajiannya. Lalu apakah ‘harga’ yang harus dibayar untuk mendapatkan jodoh kini lebih murah dari sebungkus mie instan?

Wednesday 4 April 2018

Hujan

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@wx1993?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Raychan</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/rain-street?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>



Jalanan basah malam itu, beserta mataku.
Hujan adalah kelambu bagi jiwa-jiwa penuh dahaga dan raga yang ingin terbebas dari derita.
Rintik itu menghadirkan rindu pada matahari yang lalu, sementara aku hanya lah sebuah bola lampu.
Dan kita terus saja berlari mengejar apa-apa saja yang fana, mungkinkah selama ini kita hanya menyulam luka?

Ada kita, tanpa jeda, tanpa kata.
Tak pernah saling berebut dan ribut tentang siapa yang akan berjalan di depan atau tertinggal di belakang,
karena aku ingin bergandengan tanpa ada payung abu-abu dari masa lalu. 

Sebodoh-bodohnya aku,
aku lah orang yang paling berhati-hati dalam urusan hati.
Seberani-beraninya aku,
aku lah manusia yang terlalu takut untuk jatuh cinta.


Malam ini, adakah hujan sudah reda? 

Tuesday 13 February 2018

Mendengarkan Musik Jazz

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@lucalotar?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Luca Lo Tartaro</a> on <a href="https://unsplash.com/?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>


Seperti biasa dan yang sudah-sudah, tidak pernah ada pertemuan yang benar-benar kita rencanakan. Mungkin hidup memang bukan soal kebetulan, tapi menemukan kamu adalah sebuah kebetulan dan mungkin kelak jadi pilihan yang akan selalu menyenangkan.

Kamu selalu datang tiba-tiba, di saat yang tak pernah bisa diduga. Seperti petir yang bergetar di langit siang hari tanpa ada pembuka hujan dan gejala alam lainnya, kamu muncul begitu saja tanpa dinyana. Lagi-lagi sebuah kebetulan yang sungguh menyenangkan untuk diterima dengan lapang dada.

Pada berbait-bait lirik musik jazz malam itu, kamu kembali muncul dengan warna bajumu yang selalu itu-itu saja. Menawarkan hal-hal baru tanpa kita perlu terlalu lelah untuk berusaha melakukan apa-apa. Apa-apa saja yang bukan kita dan tidak kita suka. Setelah berbait-bait lagu itu, kamu bertahan pada pilihanmu untuk tidak pulang. Menetap, berbaring di sebelahku, dengan tanganmu yang selalu berada di bawah bantal, entah sedang menggapai apa. Kamu yang pada malam itu begitu pulas bagai batu. Hanya ada napas-napas kita yang menderu, dan segala ketidakpastian yang kita abaikan, karena kita lebih memilih untuk terlelap dalam buaian dongeng-dongeng alam.Percayalah, berada di sebelahmu adalah cara tidur terbaik yang pernah ada. Memandangimu tidur adalah hal terbaik setelahnya.

Setelah berpuluh-puluh beratus-ratus cerita, kamu masih saja betah berlama-lama mendengar keluh kesah dan segala cerita dari mimpi-mimpi buruk saya. Tentang apa saja, tentang hal-hal yang terjadi di atas semesta. Termasuk kamu, dan segala jenis kombinasimu, yang ingin saya bekukan kemudian dibawa pulang. Kamu selalu berkata bahwa yang paling jahat adalah waktu, kini saya memahaminya. Tidak ada yang bisa diulang, tapi pernahkah kamu berpikir, apa mungkin pertemuan-pertemuan tanpa rencana ini sebenarnya adalah cara kita untuk mengulang cerita kemarin yang dengan mudah hilang ditelan waktu?

Friday 22 December 2017

Di Ketinggian Sekian Puluh Ribu Kaki

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@mikepalmowski?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Mike Palmowski</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/plane?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>


Di atas sini,
ada harap yang kalap,
dan ketidakpastian yang pasti,
menyelimutiku dari ubun-ubun hingga mata kaki.

Ternyata memikirkanmu lebih sesakkan dada
daripada harus bernapas dalam ruang hampa udara.
Bukan salahmu jika kali ini aku sepi.
Nyatanya terkadang manusia hanya mengamini apa-apa saja yang mereka kehendaki.
Dan yang kutahu,
menjauh dari gravitasi yang menarik jiwa jatuh terlalu jauh terasa lebih mudah,
dibanding hadapi rasa yang membuat hati berakhir gundah.

Di luar sana gelap, aku ingin terlelap.
Namun ada ketidakmampuan untuk menyentuh dunia mimpi,
sebab kepalaku tak henti-henti
menyanyikan lagu-lagu yang mengganggu.
Dan bercerita tentang segala macam luka yang menuntut lupa.

Ratusan mata-mata lain lelah mengantuk,
duduk termangu ketika makhluk-makhluk berseragam batik membagi-bagi roti.
Aku dingin, aku beku.
Aku hampir mati dikoyak-koyak sepi.