Monday 11 March 2013

Sendiri?



Saya menatap lelaki yang tengah duduk bergeming di depan saya. Entah sudah berapa puluh menit saya tak diacuhkan olehnya. Sambil menyeruput iced lemon tea, saya menatap pria ini dalam diam. Ia sedang asik melamun, menatap kosong ke arah jam tangannya, seolah ada banyak hal menarik yang ia liat di sana. Saya menebak-nebak. Mungkin ia tengah menghitung, sudah berapa lama sosok perempuan kurus ini tak dihiraukannya. Atau mungkin ia bertanya, mengapa saya tahan duduk menatapnya berjam-jam dalam sunyi. Saya jadi tertarik untuk menghitung. Sudah lebih dari 5 jam kami duduk dalam hening di sebuah kafe kopi kecil di sudut jalan di pinggiran kota ini. 5 jam berarti 300 menit, berarti 18.000 detik, berarti 1.800.000 milidetik. Itu belum seberapa. Silahkan kali angka sejuta sekian itu dengan jumlah hari yang selalu kami lalui di sini, di kafe dan di meja yang sama, sejak 6 bulan lalu. Saya tidak akan menghitungnya lebih lanjut, itu malah akan membuat saya gila. Sisi baiknya, ternyata cinta bisa dihitung pakai logika matematika.

Saya kembali menatap lelaki di depan saya, masih kekeuh menatap gigih jam tangannya. Beberapa saat kemudian, ia menoleh pada saya. Kami saling tatap, entah berapa detik lamanya. Saya lantas menggenggam tangannya. Tak sesuai perkiraan. Saya menebak tangannya dingin, seperti mayat. Setidaknya itu kesan yang ia berikan melalui bibirnya yang pucat. Tapi punggung tangannya hangat, ternyata masih ada kehidupan yang tersemat.

'Jangan beri saya sentuhan kasihan.' Tiba-tiba bibirnya terbuka, suaranya pelan, berbisik, lembut, mengalahkan beludru. Sungguh tidak ada rasa kasihan dalam diri saya terhadapnya. Tapi tak apa, saya mengerti. Saya tidak ingin ia lebih menderita lagi dengan merasa diperlakukan begitu. Sayapun menarik tangan saya dan malah beralih menggenggam tangan saya yang lainnya.

'Terimakasih telah menemani saya selama ini.' Lanjutnya. Masih dengan suara sehalus dan semanis gulali. Saya ingin sekali menepis kalimat terimakasihnya. Itu sama sekali tidak perlu. Saya tidak butuh ucapan terimakasih miliknya. Saya yang dicap anti sosial malah teramat senang jika harus berbagi waktu dengannya setiap hari, meskipun di kafe yang sama selama berbulan-bulan, sungguh tak jadi masalah.

Ia begini sejak Ibunya, keluarga yang satu-satunya ia miliki, berpulang ke pangkuan Tuhan setengah tahun lalu. Saya sering bergumam, mungkin jiwanya pergi dan terbang bersama nyawa sang Ibu. Mungkin sekarang ruhnya di dimensi lain sedang duduk di pinggir kolam susu di surga di atas langit sana bersama orangtua itu sambil menonton bidadari tertawa merdu. Saya tidak mengerti tentang kehidupan setelah kematian. Saya awam soal itu. Namun saya sering merasa yang saya lihat dan temani setiap hari dalam 6 bulan terakhir ini adalah seseorang yang telah kehilangan nyawanya. Membayangkan jiwanya yang berada di alam lain itu membuat saya ngeri sendiri.

Ingin sekali rasanya saya memberitahu bahwa Ibunya berduka melihatnya seperti ini. Ingin sekali saya bercerita padanya bahwa dunia ini masih indah bersama segala rupa yang ada di dalamnya. Saya ingin mengingatkan bahwa Bumi punya 5 samudera, 5 benua dan triliunan manusia yang bernaung di bawah kubah biru indah yang kita namai langit. Saya ingin ia sadar bahwa pelangi itu cantik, bahwa bunga itu harum, bahwa hidup ini terlalu istimewa untuk disebut biasa saja. Hidup ini terlalu sempurna untuk dicela. Saya ingin ia tahu bahwa ia masih punya saya, yang setia memperhatikannya meratapi dirinya sendiri yang jiwanya terbang entah kemana. Saya ingin sekali membiarkannya tahu bahwa ia tidak perlu menangisi kepedihannya sendirian. Ia bisa pinjam bahu saya, atau jika memang ia tidak mau, saya, setidaknya, bisa memberikannya tissue dan segelas air putih. Sungguh tak ada yang perlu ia ratapi seorang diri dan terlihat begitu menikmati diamnya beserta siluet dari gemingnya sempurna. Tidak. Ia tidak perlu sendiri dan tidak perlu memilih untuk sendiri. Ya, tapi tak apa, saya mengerti. Kadang orang memang butuh ruang untuk dirinya, untuk bernapas dan menghabiskan oksigen sebanyak mungkin tanpa diganggu, untuk merefleksi dirinya, untuk mendengar suaranya sendiri tanpa dicampuri oleh bising yang lain.

Saya lantas kembali menggenggam tangannya. Ia menoleh. Saya tersenyum. Kali ini saya yakin, ia dapat merasakan bahwa tidak ada rasa kasihan dalam genggam tangan saya. Ia lalu balas menatap mata hangat penuh cinta milik saya dengan nanar. Namun kali ini saya merasakan bahwa tangan hangat miliknya balas menggenggam tangan saya. Erat. Benar-benar hangat. Setidaknya, respon sekecil itu sudah cukup bagi saya.