Wednesday 5 June 2013

Pengamen Makan Ramen


Masih dipelototinya halaman komik Jepang itu. Komik lusuh tahun 2000an yang dipinjamnya di tempat penyewaan buku milik Tuan Yamashita, keturunan Jepang yang sudah berpuluh tahun beranak pinak di nusantara ini. Ia masih tak bisa membayangkan, betapa enaknya rasa makanan yang sedang ia lihat di komik itu sekarang; Naruto makan ramen. Ia bukan ingin jadi Naruto, ninja ulung yang cara berlarinya bukannya unik, malah cenderung aneh itu. Ia ingin ramen. Mie yang berasal dari Jepang. Ia lah Eman, pengamen yang ingin makan ramen.



***

Ibunya, seorang tukang cuci yang cerewet bukan kepalang, sudah beratus kali bersumpah serapah bahwa tak ada ramen di sini, di tempat mereka tinggal, di lingkungan kumuh di pinggiran ibukota itu. Yang ada hanya sampah dan makanan sisa, yang kadang mereka dapati di tempat sampah juga.

"Kalo lu mau makan mie, sono beli di warungnya Mpo Minah." ujar Ibunya suatu ketika.

"Beda, bu. Eman maunya ramen. Bukan mie instan murahan itu." tandasnya serta-merta tanpa pikir panjang sang Ibu akan kembali murka.

"Murahan, murahan, kayak punya duit aja lu. Udah miskin, belagu!"

Eman menghela napas mendengar perkataan Ibunya. Mereka memang miskin, tapi entah kenapa hatinya begitu yakin ia akan dapat menikmati ramen suatu saat nanti. Eman saat ini berusia 14 tahun. Ia tak pernah sekolah, namun ia bisa baca tulis karena pernah diajari oleh kakaknya yang dulu sempat merasakan bangku sekolah hingga kelas 5 SD. Eman hobi sekali meminjam buku dari keluarga Tuan Yamashita. Selain bukunya yang bagus-bagus, biaya sewanya juga murah. Penyewa yang semuanya berasal dari lingkungan kumuh di pinggiran kota ini, dapat membayar sewa dengan apapun yang mempunyai nilai. Bahkan ketika Eman sedang tidak punya apa-apa untuk diberi, Tuan Yamashita memperbolehkannya membayar dengan sebuah nyanyian dari suara pas-pasan miliknya. Semua orang di lingkungan rumah Eman selalu bilang bahwa Eman lebih baik diam saja, tidak usah menyanyi, jadi pengemis saja mungkin akan lebih pantas, namun Tuan Yamashita tidak pernah mempermasalahkan hal itu.


Suatu sore, Eman sedang berada di rumah Tuan Yamashita bersama anak-anak lain. Rumah Tuan Yamashita berada di bantaran empang kotor dan busuk yang terdapat di lingkungan itu. Rumah Tuan Yamashita merupakan rumah tertua di sana, juga yang berukuran paling besar. Rumah itu telah ada sejak dulu, sebelum ada yang menempati lingkungan tersebut. Sebelum lingkungan kumuh itu menjadi kumuh.

"Tuan, apa Tuan pernah makan ramen?" tanya Eman kala itu.

Tuan Yamashita yang sekarang sudah melebihi 80 tahun tertawa kecil mendengar pertanyaan polos Eman. Dibetulkannya letak kacamata tua miliknya. "Tentu pernah." jawabnya. "Ramen itu makanan kesukaan penduduk Jepang." lanjut Tuan Yamashita sungguh-sungguh.

Eman terpana. Sungguh entah akan seperti apa rasa bahagianya jika ia juga dapat mencicipi makanan yang sudah lama diidam-idamkannya itu. Eman masih diam, berharap Tuan Yamashita akan kembali bercerita tentang ramen.

"Di Jepang tidak hanya ada ramen, banyak juga makanan enak lainnya. Dan juga tidak hanya ada makanan, namun hal lainpun banyak. Ada rumah megah, mobil mewah, semuanya ada." ungkap Tuan Yamashita lagi.

Eman semakin ternganga dengar cerita Tuan Yamashita. Entah itu benar atau tidak, ia percaya bahwa Tuan Yamashita yang baik hati tidak akan mungkin berbohong pada anak sepolos dirinya. Eman lantas kembali meminjam komik Jepang lainnya dalam jumlah yang lebih banyak. Ia membolak-balik lembar demi lembarnya, kalau-kalau akan ada cerita dan gambar lain tentang ramen bahkan tentang hal-hal indah yang barusan diceritakan Tuan Yamashita padanya. Ia masih terus ingin meyakinkan dirinya bahwa ramen memang enak. Setidaknya, dengan membaca komik-komik yang inti ceritanya tidak ada sangkut pautnya dengan ramen, ia merasa ia dan si ramen sudah semakin dekat. Semakin banyak gambar, tulisan, dan kisah tentang ramen, semakin baik dan dekat pula ia dengan ramen. Kini bahkan ia mulai tertarik untuk mengunjungi negara asal ramen, Jepang.

***

"Bu, Eman pengen ke Jepang, terus nanti di sana makan ramen." ucapnya suatu malam, ketika ia sedang berada di dalam rumah kardus berdua dengan Ibunya.

Ibu Eman kembali kesal, sebenarnya apa yang salah dengan anaknya ini. Kemarin ramen, sekarang Jepang. Alamat akan pecah perang lagi malam ini. "Ngapain lu ke Jepang. Jepang tuh pernah ngejajah kita." jawab sang Ibu sekenanya.

"Kan katanya cuma 3,5 tahun, bu."

"3,5 tahun sih 3,5 tahun, tapi ludes nih negara kita dibikin ama Jepang."

"Lamaan juga Belanda, bu. 3,5 abad."

Ibu Eman kembali memuncak dengar bantahan-bantahan yang keluar dari mulut Eman. "Lu ngerti apa soal sejarah Indonesia? Lu kaga pernah sekolah! Kaga usah sok tau. Kita ini miskin, makan aja susah. Pake acara mau ke Jepang segala." omel Ibunya lagi.

Eman mematung dengar kalimat Ibunya. Tidak pernah sekolah. Ia tidak pernah menginginkan untuk tidak sekolah. Keadaan yang membuatnya begini. Kalau ia bisa memilih, ia tak ingin hidup dengan keadaan seperti ini. Ia selalu ingat kalimat Tuan Yamashita padanya: tidak apa kita miskin, namun jangan sampai kita kehilangan semangat. Semangat untuk hidup, semangat untuk bermimpi, semangat untuk mewujudkan semua mimpi-mimpi itu.

Pelupuk mata Eman terasa hangat. Pelipisnya terasa basah, dialiri setetes air yang alirannya berakhir di ujung bibir. Rasanya asin. Eman bangkit berdiri kemudian menyeka air matanya. Ditatapnya sang Ibu lekat-lekat. "Eman emang ga pernah sekolah, bu Terus kenapa juga Ibu ga pernah sekolahin Eman?" ucapnya dengan suara serak dan badan bergetar hebat menahan tangis, lalu berlari secepat kilat keluar rumah, menjauhi rumah, semakin jauh dan jauh, bersama butir air mata yang menetes sepanjang jalan. Malam itu Eman berharap ia tak pernah dilahirkan.

***

Sudah tiga malam Eman pergi. Sejak malam pelariannya itu, Eman tak pulang, tak ada kabar berita. Sang Ibu mulai panik. Ia dan beberapa warga lainnya sudah mencari ke sana kemari, ke setiap sudut di lingkungan kumuh itu, namun hasilnya nihil. Sampai pada malam ketujuh, ada seorang tetangganya yang memberi kabar pada Ibu Eman bahwa Eman sudah meninggal karena keserempet truk ketika hendak mengamen. Kejadiannya baru beberapa jam yang lalu. Ibu Eman membeku, lidahnya kelat, tenggorokannya tercekat. Harta satu-satunya yang ia miliki kini telah pergi. Suaminya meninggal karena dikeroyok segerombolan preman ketika mereka tak mampu membayar hutang kalah judi, kakak Eman yang meninggal karena over dosis obat-obatan terlarang, dan sekarang Eman, Eman yang ingin sekali pergi ke Jepang dan makan ramen.

Perkampungan kumuh di pinggiran ibukota itu berduka. Eman pergi bersama segala macam mimpi tak biasa miliknya. Tak ada lagi Eman. Tak ada lagi sang pengamen yang begitu ingin makan ramen.