Sunday 22 September 2013

Setiap Tempat Punya Cerita; London: Angel Review

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@heytowner?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">JOHN TOWNER</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/place?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>


Aku duduk di tepian plaza, di salah satu kursi beton yang berbaris rapi tidak jauh dari kincir raksasa yang bersinar putih kekuning-kuningan. Tubuhku meringkuk. Dua tanganku terkepal di pangkuan. Jemariku meremuk celana. Aku tengah menunggu dan waktuku kian menipis. Beberapa jam lagi, aku meninggalkan kota ini, tapi gadis yang ingin kutemui tak juga menampakan diri.


Lima hari yang lalu, aku datang dengan semangat luar biasa, dengan gairah mengejar cinta membara seperti api besar yang tengah melahap kayu di dasar perapian. Kini, aku lelah dan kehilangan asa. Kota ini telah mengikis habis harapanku lewat hujan yang turun hampir setiap waktu. Butir-butir air yang tercurah dari langit mencuri mimpi indah dalam benakku sedikit demi sedikit dan yang tersisa kini hanya kenyataan.

Kenyataan pahit.

Ah persetan, gadis itu tidak akan muncul.

Aku mendesah, lalu bangkit berdiri. Sepasang kakiku bergerak setengah hati, menjauh dari tempat pertemuan kami. Tepat ketika aku akan keluar dari plaza, seorang petugas keamanan berseragam biru tua menghampiriku.

"Maaf, Mister. Payungmu tertinggal," katanya. Dia menyodorkan sebuah payung merah yang terlipat rapi.

Aku memandangi benda tersebut dan tersenyum kecut. "Aku tidak membutuhkannya." Kugelengkan kepalaku.

"Tapi hujan baru saja turun."Petugas keamanan itu mengacungkan tangannya ke langit.

Hujan? "Hujan turun?"

Aku buru-buru menengadah, menatap jauh ke atas, ke kumpulan gumpalan kusam yang menutupi matahari. Detik berikutnya, sebutir air mendarat di wajahku, lalu menyusul butir-butir air yang lain dan tidak lama kemudian, seperti apa yang dikatakan oleh petugas keamanan itu, hujan membasahi London sekali lagi.

***


15 September lalu, saat sedang berada di Bandung, dalam rangka liburan semester genap, saya berkunjung ke salah satu mal yang bisa dibilang sangat digandrungi anak muda. Saya sendiri belum pernah ke sana sebelumnya. Maklum, sejak jadi mahasiswa, saya memang jarang sekali bepergian keluar kota. Ya, saya ke Paris Van Java. Sebuah mal yang cukup terkenal di kota Bandung. Namun kali ini saya tidak akan bercerita tentang bagaimana tempat itu. Melainkan, saya ingin bercerita sedikit tentang buku yang saya beli di Gramedia PVJ: Setiap Tempat Punya Cerita; London: Angel.


Setiap Tempat Punya Cerita; London: Angel oleh Windry Ramadhina

Buku bersampul merah nan sederhana ini karangan Windry Ramadhina. Ini merupakan buku Windry Ramadhina yang pertama kali saya baca. Sebelumnya Windry Ramadhina telah menulis empat novel, yaitu Metropolis, Orange, Memori, dan Montase. Setiap Tempat Punya Cerita (STPC) ini sendiri merupakan proyek kolaborasi pertama Gagas Media dan Bukune. Seri ini menggabungkan fiksi dan traveling experience. STPC memiliki total sembilan seri termasuk London: Angel. Kedelapan seri lainnya yaitu Paris: Aline oleh Prisca Primasari, Last Minute in Manhattan: Beri Cinta Waktu oleh Yoana Dianika, Roma: Con Amore oleh Robin Wijaya, Barcelona Te Amo: Masih Ada Skets Rindu Untukmu oleh Kireina Enno, Bangkok: The Journal oleh Moemoe Rizal, First Time In Beijing: Nostalgia Kisah Cinta Semusim Lalu oleh Riawani Elyta, Melbourne: Rewind oleh Winna Efendi, dan Swiss: Little Snow in ZΓΌrich oleh Alvi Syahrin. Kesemua seri tersebut ada di Gramedia kemarin, namun karena saya menyukai London (I don't know why I love London so much, probably because of their British accent :p ) akhirnya saya memilih London.

Seri Setiap Tempat Punya Cerita


London: Angel bercerita tentang seorang penulis berumur 26 tahun bernama Gilang. Gilang mempunyai seorang sahabat wanita sejak kecil yang juga sekaligus tetangga sebelah rumahnya. Gadis itu bernama Ning. Beberapa tahun belakangan, Ning pindah ke London dan kemudian bekerja sebagai kurator di Tate Modern, sebuah galeri di London yang memajang seni modern dan kontemporer dari tahun 1900an hingga sekarang. Di awal cerita, Gilang sedang ada acara minum-minum malam minggu di Bureau, Pondok Indah, Jakarta, bersama empat orang temannya, Brutus, Hyde, Dum, dan Dee. Mereka yang ketika itu sedang mabuk Jack Daniels, memberi tantangan pada Gilang untuk menyusul Ning ke London dan menyatakan cinta. Dalam keadaan mabuk, Gilang menyanggupi tantangan teman-temannya. Di hari berikutnya, keempat orang tadi memastikan Gilang tidak akan mengingkari perkataannya. Merekapun langsung mempersiapkan segala keperluan untuk perjalanan Gilang ke London. Sesampainya di London, Gilang malah sulit bertemu Ning karena ketika itu Ning sedang berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Alih-alih lancar bertemu Ning, Gilang malah bertemu terus-terusan dengan gadis yang ia juluki Goldilocks. Dijuluki begitu karena rupanya mirip dengan gadis berambut kuning dalam kisah Goldilocks and The Three Bears milik Robert Southney. Goldilocks hanya muncul ketika hujan turun dan akan langsung menghilang ketika hujan berhenti. Pria pemilik toko payung yang beberapa kali didatangi Gilang mengatakan bahwa gadis itu adalah malaikat. Begitu kata mitos orang jaman dulu. Gilang tertawa menanggapinya. Kejadian demi kejadian berlalu, Gilang pada akhirnya percaya bahwa Goldilocks memang malaikat yang turun bersama hujan. Di lain sisi, setelah akhirnya bertemu Ning, Gilang malah kemudian merelakan gadisnya itu memilih pria lain bernama Finn, seorang seniman yang meletakan karya-karyanya di Tate Modern. Itu dilakukannya setelah Gilang menyadari bahwa Ning tidak pernah menatapnya dengan penuh cinta seperti Ning menatap Finn.


***

Bahasa yang digunakan Windry Ramadhina dalam novel ini adalah bahasa baku, dengan sudut pandang orang pertama aku yaitu Gilang. Walaupun menggunakan bahasa baku namun maknanya mudah dicerna. Ketika membaca novel ini, saya merasa seperti sedang membaca novel terjemahan. Bisa jadi karena faktor bahasa dan cara penyampaian penulis. Windry Ramadhina juga mampu menyajikan karakter dengan apik dan membuat kita sedikit banyak merasa bagaimana menjadi seorang pria yang telah menyimpan cintanya selama bertahun-tahun pada sahabatnya. Kemudian rela melakukan hal gila: mengejar cinta ke benua yang berbeda.

London: Angel menitipkan pesan kepada kita agar menjadi orang yang berani mengambil resiko namun juga harus memakai akal sehat untuk saat mengambil keputusan. London: Angel juga mengajarkan kepada kita bahwa tidak semuanya akan berjalan sesuai rencana. Dan tidak semua hal yang kita rasa sia-sia memang berarti sia-sia. Bisa jadi ada takdir lain yang masih disimpan untuk kita, yang akan lebih baik tentunya.

Kepada para pembaca, Windry Ramadhina terang-terangan bilang ingin berbagi cerita tentang London beserta hujannya. Windry Ramadhina juga ingin berbagi kisah sendu bersama hujan yang romantis dan magis. Cerita ini untuk kalian para pencinta hujan. Selamat membaca! ;)