Sunday 8 December 2013

Incognito: Kekasih Frank dan Sihir Hujan #1


“Oh, God, it’s wonderful
to get out of the bed
and drink too much coffee
and smoke too many cigarettes
and love you so much.”

Bandung, 22.7.11 

Aku membaca tulisan tangan di halaman pertama buku yang baru saja kutemukan di atas salah satu meja di perpustakaan tempat aku biasa menghabiskan waktu selama berjam-jam. Yang barusan kalian lihat itu, itu merupakan bait terakhir puisi Steps milik Frank O’Hara, penulis dan penyair asal Amerika. Bagaimana aku tahu? Selain karena kalimat itu memang terkenal, juga karena aku penggemar berat tulisan-tulisan O’Hara. Bukan berarti aku homoseksual karena suka pria, hal seperti itu sama sekali tidak berlaku dalam dunia seni. Aku suka tulisan-tulisan O’Hara karena dia memang keren. Kalian harus baca karya-karyanya. Aku yakin kalian akan suka. Tapi, ya, itu kembali lagi kepada minat kalian terhadap karya sastra.

Omong-omong, buku yang kudapati ini berjudul The Perks of Being A Wallflower karya Stephen Chbosky. Buku ini terbit pada 1999. Aku tahu karena aku sedang membolak-balik isinya sekarang. Aku sudah menonton versi film yang dibintangi oleh Logan Lerman, namun belum pernah membaca bukunya. The Perks of Being A Wallflower bercerita tentang seorang anak laki-laki introvert bernama Charlie. Charlie pernah hampir bunuh diri karena depresi. Setelah itu ia sempat menjalani terapi rehabilitasi. Hidup Charlie kemudian berubah ketika ia bertemu dengan sepasang kakak-beradik tiri, Sam dan Patrick, di sekolah barunya. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka semakin dekat, dan Charlie akhirnya jatuh hati pada Sam—yang diperankan oleh Emma Watson. Ada beberapa kalimat terkenal dalam buku ini, salah satu yang aku suka adalah “Even if we don’t have the power to choose where we come from, we can still choose where we go from there. We can still do things. And we can try to feel okay about them.” Jika kau ingin tahu bagaimana kelanjutan ceritanya, silakan buka internetmu atau pergi lah ke toko buku atau perpustakaan.

Aku tidak yakin ini buku asli, aku hanya yakin umurnya bersama si pemilik belum terlalu lama, karena kertasnya belum jelek-jelek amat. Mungkin ini buku yang diberikan seseorang kepada seseorang lainnya pada tahun 2011 di Bandung. Sebagai hadiah, mungkin. Perkiraanku dari seorang pria kepada wanita. Itu semua aku lihat dari puisi yang tertulis di halaman ini. Aku tidak tahu mengapa aku harus menganalisa buku yang entah milik siapa ini sampai sebegitu detilnya. Satu hal lagi yang aku tahu, buku ini bukan milik perpustakaan di sini, karena tidak ada cap perpustakaan atau tanda-tanda lain yang menyatakan ini milik perpustakaan.

Di luar sedang gerimis. Aku tidak memilih buku apa-apa hari ini. Aku bukan sedang tidak berhasrat untuk membaca. Aku hanya sedang ingin melukis. Aku mengeluarkan sketch book berukuran sedang yang sudah setengah terisi beserta pensil warna, cat air, kuas, dan alat melukis lainnya. Aku tidak jago-jago amat dalam melukis. Aku hanya hobi. Orang-orang bilang lukisan-lukisanku bagus. Biasanya aku hanya tersenyum sedikit kemudian berterimakasih menanggapinya, sambil mengaminkannya di dalam hati. Teman-temanku yang lain juga selalu menyarankan aku untuk menjadikan ini sebagai profesi. Seperti membuka jasa lukis misalnya. Aku bukan tidak setuju dan tidak menghargai saran mereka. Ada benarnya juga, pikirku, tapi aku melukis karena aku mencintai seni lukis, bukan karena aku ingin menjadi kaya dengan melukis. Atau mungkin belum. Kalau aku melukis untuk uang, mungkin aku sudah berhenti melukis sejak bertahun-tahun lalu. Kalaupun aku ingin dapat uang dari melukis, paling tidak aku akan mengumpulkan dulu lukisan-lukisanku selama satu dekade kemudian membuat pameran, kalau-kalau nanti akan ada yang berminat membelinya. Itupun kalau aku punya modal untuk buat pameran. Jadi, aku lagi-lagi hanya tersenyum sedikit dan berterimakasih kepada teman-temanku atas saran mereka.

Aku melihat sekeliling, sore ini perpustakaan tidak terlalu ramai. Perpustakaan pada hari kerja memang tergolong sepi. Para pekerja yang tidak punya waktu kosong, jangankan hari kerja, akhir pekan saja mereka tidak akan ke sini. Ingin santai di rumah bersama keluarga, sahabat, atau pacar, katanya. Tidak seperti aku, pengangguran yang cuma bisa membaca seharian tanpa menghasilkan apa-apa. Bukan berarti perpustakaan hanya untuk orang-orang tidak berguna sepertiku. Tapi aku, untuk itulah aku ke sini. Aku tidak punya banyak kegiatan, jadi kupikir, setidaknya aku harus melakukan hal-hal yang sedikit banyak bermanfaat untukku. Membaca berjam-jam salah satunya. Sekalipun aku tidak dibayar untuk membaca dan melukis di sini, setidaknya aku bisa dapat ilmu.

BUK!

Ada sesuatu mengenai punggungku. Rasanya tidak sakit, namun tetap saja aku jengkel. Mengapa harus ada orang yang melempariku di tengah-tengah renungan ini? Aku mengalihkan pandanganku dari sketch book, kemudian berbalik. Aku mencari-cari kalau-kalau si pelaku masih ada di sekitarku, terlihat sedang lari tunggang langgang karena ketakutan. Tapi aku tidak menemukan apa-apa, hanya secarik kertas di lantai. Mungkin itu benda yang mengenai punggungku tadi.

After the first glass of vodka
you can accept just about anything
of life even your own mysteriousness
you think it is nice that a box
of matches is purple and brown and is called
La Petite and comes from Sweden
for they are words that you know and that
is all you know words not their feelings
or what they mean and you write because
you know them not to because you understand them

because you don’t you are stupid and lazy

and will never be great but you do

what you know because what else is there?”

-R-

Puisi ini rasanya tidak asing, aku rasa ini puisi milik Frank O’Hara, tapi aku pun tidak begitu yakin. Jadi aku memilih untuk membuka ponselku dan membuka catatan-catatanku. Aku membuka beberapa puisi, sampai akhirnya menemukan yang sama. Nah, kan! Ini As Planned, salah satu karya O’Hara. Lalu apa ini R? Inisial orang yang melempar kertas ini? Atau siapa? Sok misterius betul orang ini. Aku pun membandingkan tulisan tangannya dengan tulisan yang ada pada buku The Perks of Being A Wallflower. Berbeda. Aku kemudian merapikan kertas yang sudah tak beraturan bentuknya ini, berniat menyimpannya. Lumayan, tulisan tangannya bagus.

Setelah memasukannya ke dalam note yang berisi banyak kertas-kertas penting dan tidak penting, aku menyadari bahwa gerimis di luar sana telah berganti menjadi hujan. Aku cepat-cepat membereskan semua barang-barangku yang berserakan di meja, sketch book, pensil warna, dan barang-barang lain yang entah apa, menjejalkan semuanya secara paksa ke dalam ransel usang coklat milikku, termasuk The Perks of Being A Wallflower yang kutemukan ini.

Omong-omong, aku buru-buru begini karena aku bekerja sebagai barista di salah satu tempat minum kopi favorit di kota ini, mulai pukul 6 sore sampai 10 malam setiap harinya. Sudah hampir tiga tahun aku bekerja di sana. Awalnya aku iseng-iseng melamar ketika itu. Alasanku menjadi barista karena selain iseng, juga karena aku suka kopi. Oke, itu alasan klise lainnya. Ya sudahlah, tidak semua hal yang kau lakukan dalam hidup ini harus selalu punya alasan.

Aku tidak ingin terlambat masuk kerja karena terjebak hujan, jadi aku bangun dari dudukku kemudian berbalik untuk berjalan ke arah pintu keluar.

BUK!

Aku menabrak sesuatu—maksudku seseorang, di depanku yang entah siapa, kemudian jatuh terduduk. Pantatku sakit. Di depanku ada perempuan berkacamata yang sedang membereskan bukunya yang berceceran. Banyak sekali bukunya. Kutaksir ada sekitar enam sampai delapan buku. Aku tidak dapat melihat satupun judul bukunya karena tangan-tangannya yang cepat sekali memungutinya. Aku mencoba melihat paras gadis ini, tapi tidak bisa karena poninya jatuh menutupi sebagian wajahnya. Aku kemudian berinisiatif untuk menolong. Kuulurkan tanganku, kemudian ditepisnya. Ia lalu menatapku dengan penuh emosi sambil berusaha berdiri. Aku bisa menatap wajahnya dengan jelas sekarang. Cantik juga gadis ini, pikirku. Sebagai lelaki normal, aku sedikit deg-degan dan kikuk berhadapan dengan wanita, apalagi yang cantik begini. Hanya Pika, sepupuku, dan ibuku, wanita yang tidak pernah membuatku kikuk. Bukan berarti Pika dan ibuku tidak cantik, ya.

Gadis ini memiliki kulit berwarna kuning langsat. Tubuhnya langsing, lumayan tinggi, sejajar dengan hidungku. Rambutnya bergelombang sebahu, berwarna hitam pekat, dengan poni yang disisir asal ke samping. Alis matanya rapi dan lumayan tebal, matanya lebar, bulu matanya lentik, hidungnya tidak terlalu mancung, bibirnya yang mungil sedang manyun sekarang. Wajahnya Indonesia sekali. Aku tidak tahu dari mana aku bisa dapat ide wajahnya Indonesia sekali. Aku juga tidak terlalu paham bagaimana wajah wanita yang Indonesia sekali itu. Apakah alisnya harus bak semut beriring, bibirnya harus semerah delima, atau dagunya harus seperti lebah bergantung. Ah, sudahlah. Tidak usah dibahas.

“Jangan seenaknya membalik badan sambil berlari di tempat umum.” katanya datar dan dingin, matanya menatapku sangat tajam.

Aku tak bisa menjawab apa-apa. Aku bingung, entah aku atau dia yang sebenarnya salah. Namun sebagai pria, aku lebih baik mengalah pada wanita yang sedang emosi. “Maaf.” kataku akhirnya.

Ia mengabaikan permintaan maafku, kemudian berlalu begitu saja. Aku masih kaget dengan kejadian singkat barusan. Mungkin aku memang bersalah, atau mungkin hanya dia saja yang sedang sensitif. Namanya juga perempuan, barangkali ia sedang datang bulan. Meskipun gadis ini cantik, aku memilih untuk tidak memedulikannya. Kulihat ke luar ruangan, hujan turun semakin deras. Aku lebih baik bergegas. Sambil mengenakan mantel hujanku, aku mempercepat langkah berjalan menuju pintu keluar, kemudian menerobos hujan sore itu.


***


Perpustakaan ramai siang ini. Mungkin karena sekarang Sabtu, orang-orang tak berteman sepertiku akan semakin ramai datang ke sini, menghabiskan waktu berjam-jam sambil membaca berpuluh-puluh buku, sendirian. Berteman dengan benda mati itu sama sekali tidak menyedihkan, malah menyenangkan dan menguntungkan. Kau tidak perlu membayarinya makan, kau tidak repot mengatur waktu untuk bertemu, kau tidak akan kesal ketika acaramu batal karena benda mati tak akan membatalkan janji. Buku terlebih-lebih. Selain tiga hal menyenangkan yang aku sebutkan tadi, buku juga dengan senang hati memberimu segala-gala informasi tanpa perlu kau susah payah membalasnya untuk berterimakasih. Pepatah-pepatah klise mengenai keistimewaan buku boleh saja kau cemooh, tapi cobalah pandang secara objektif, itu semua benar. Buku itu gudang ilmu. Buku adalah jendela dunia. Sebaik-baiknya teman adalah buku. Nah, benarkan, berteman dengan benda mati apalagi buku itu menguntungkan dan menyenangkan. Aku tidak mengerti orang-orang yang tidak suka membaca. Apalagi ketika kau tidak punya banyak uang untuk keliling dunia dan melihat banyak hal dan kau pun tidak suka membaca buku, itu baru menyedihkan.

Aku membolak-balik kertas dengan puisi Frank O’Hara yang kudapat dua hari lalu. Aku masih penasaran siapa pelaku yang melemparku dengan ini. R. Mungkin Regina? Atau Rani? Atau, Riana? Duh, kenapa harus nama perempuan semua! Ya, ngeri saja jika aku harus membayangkan pria yang mengirimiku puisi seperti ini. Aku bergidik membayangkan.

Kalau dua hari lalu hujan deras, siang ini matahari terik sekali di luar. Untung saja ruangan ini berAC, kalau tidak, mungkin aku sudah mandi keringat sekarang. Bosan memikirkan siapa pelempar punggunggku tempo hari, aku memutuskan untuk melanjutkan lukisanku. Ini lukisan yang aku buat dua hari lalu. Sebuah pohon berukuran sangat besar, batangnya hanya bisa kau peluk bersama tiga orang lain, daunnya lebar-lebar, berwarna hijau segar, akarnya sebesar lengan muncul di sana sini di muka tanah. Aku tidak tahu apakah pohon seperti ini memang ada di dunia atau hanya hidup dalam imajinasiku saja. Pohon ini sebenarnya tidak ada istimewa-istimewanya. Aku kini menambahkan seorang gadis kecil sedang duduk memakan roti di bawah daunnya yang rindang. Gadis itu mengenakan rok terusan selutut berwarna kuning keemasan, rambut keriting berwarna coklat mengilapnya mencuat dari balik  topi bundar putih berpita yang sedang ia kenakan. Kubuat matanya lebar dengan bola mata berwarna biru terang, serta bibir kecil berisi berwarna oranye. Itu sudah cukup. Aku tidak perlu memberitahumu lebih lanjut tentang lukisanku. Itu sama sekali tidak penting.

Ketika sedang asik menuangkan hasil khayalanku pada sketch book, aku masih dapat melihat ada seseorang duduk di depanku. Sepertinya wanita. Aku mengalihkan pandangan. Ternyata benar. Seorang wanita sedang duduk memunggungiku. Rambutnya bergelombang sebahu, mengenakan jaket besar berwarna hijau tua. Tubuhnya sepertinya lumayan tinggi, dan langsing. Ia sedang menunduk, aku rasa ia sedang menulis. Aku membuka halaman berikutnya di sketch book milikku, kemudian mulai menggambar gadis itu. Aku tidak tahu mengapa aku bisa tertarik pada punggung seseorang seperti ini. Selama lima menit aku tenggelam dalam sketsa punggungnya.

“Hey, mengapa kau menggambarku!?”

Aku mendongak. Ternyata gadis yang duduk di depanku tadi sedang berdiri melongok ke dalam lukisanku. Aku gelagapan. Buru-buru kututup sketch book-ku. Aku tidak tahu entah sudah berapa lama ia berdiri di sana. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya. Bodoh!

“Mengapa kau menggambarku begitu?!” tanyanya lagi dengan intonasi lebih tinggi, wajahnya memerah karena menahan marah.

Aku masih terdiam dan bingung harus menjawab apa. Aku harus menjawab apa? “Sosokmu terlihat menarik dari belakang.” jawabku sekenanya. Ya, Tuhan, jawaban macam apa itu?

“Apapun alasanmu, aku tidak suka. Berikan kertas itu padaku.” sekarang nada bicaranya datar dan dingin sekali.

Merasa tidak punya pilihan lain, aku langsung merobek bagian tempat aku melukisnya tadi. Kemudian menyerahkan ragu-ragu. Gadis itu langsung menyambarnya. Wajahnya masih terlihat penuh amarah. Aku tidak tahu seorang wanita bisa sebegini murkanya.

“Maaf.” kataku akhirnya. 

“Sudah dua kali kau minta maaf padaku. Jangan sampai ada yang ketiga kalinya.” ucapnya lalu pergi dan menghilang dari hadapanku.


Masih dalam keadaan terkejut, aku mencerna kalimat gadis itu. Dua kali? Apa maksudnya dua kali? Aku terus mengingat-ngingat kalau-kalau aku per... Ah, aku ingat! Dia gadis yang kemarin kutabrak di sini dan bukunya berceceran semua! Duh, bisa-bisanya aku melupakan gadis secantik itu. Kali ini aku merasa aku tidak setuju dengan kalimat berangnya tadi. Aku kira harus ada pertemuan setelahnya. Jika itu harus menjadi permintaan maafku yang ketiga, aku rasa aku rela.


***


“Kau tahu, aku baru saja selesai membaca novel ini. Dan ini bagus. Kau harus membacanya.” Pika memperlihatkanku sebuah buku berjudul London: Angel milik Windry Ramadhina, malam ini di tempatku bekerja.

Aku mengambil buku itu dari tangan Pika, kemudian membolak-balik isinya. Sekarang sudah pukul 10.15 malam. Jam kerjaku sudah habis sejak lima belas menit yang lalu. Giliran temanku yang menjadi barista sekarang. Sedangkan tempat ini baru akan tutup pukul 2 dini hari. Ini dia, Pika, perempuan yang kusebut-sebut tempo hari. Ia adalah sepupu perempuanku satu-satunya. Karena sepupuku memang hanya ada dua. Sepupuku yang laki-laki adalah adik Pika. Ayahku dan Pika adalah dua orang saudara kandung. Pika sering datang ke sini. Kebetulan ia bekerja sebagai penyanyi band tetap di sebuah restoran tepat di depan tempatku bekerja. Biasanya Pika ke sini bersama teman-teman bandnya yang sudah kukenal dekat, tapi kali ini Pika datang sendirian. Kami biasa mengobrol sampai hampir tengah malam setiap harinya. Aku tidak pernah bosan bertemu dan bercerita tentang apapun dengan gadis ini.

“Apa yang spesial dari novel ini?” tanyaku kemudian.

Pika menyeruput latté yang beberapa menit lalu kubuatkan untuknya. “Novel ini bagus. Ini salah satu dari sembilan judul lainnya dari seri Setiap Tempat Punya Cerita. Sebenarnya banyak yang kisahnya mirip dengan ini, pria yang mengejar cinta seorang gadis. Namun, yang membuatnya istimewa adalah novel ini berlatar di London. Kau tahu, kan, betapa aku sangat menyukai london! Novel ini juga menggunakan karya-karya sastra dan lukisan abad-abad lalu sebagai pelengkap cerita. Kita jadi mendapatkan informasi judul-judul karya seni pada abad pertengahan. Kau pasti akan suka.” Pika menjelaskan padaku dengan lancar. “Oh iya, satu lagi yang aku suka. Di sini, tokoh utama yang bernama Gilang, bertemu dengan malaikat hujan yang dijulukinya Goldilocks. Kau tahu Goldilocks, kan?”

“The Three Bears? Robert Southney?”

“Tepat sekali!” jawab Pika girang.

“Lalu apa hubungannya malaikat hujan dengan Goldilocks?”

“Nah, malaikat ini mirip dengan Goldilocks, kulitnya, rupanya, rambutnya, apapun, mirip dengan Goldilocks.”

“Rambutnya berwarna kuning maksudmu?”

“Iya. Diam dulu. Aku belum selesai.” Pika melotot. Aku terkikik kemudian mengangguk, tanda menyuruhnya untuk melanjutkan. “Malaikat hujan ini hanya muncul ketika hujan. Tentu saja. Ia suka muncul tiba-tiba ketika hujan turun, lalu mengajak Gilang berinteraksi sebentar, kemudian hilang lagi. Begitu terus, hingga membuat Gilang penasaran.” lanjutnya bersemangat.

“Lalu sedang apa Gilang ada di London? Dia orang Indonesia, kan? Dan, mana ada malaikat hujan? Kau ngawur, ya?” cecarku.

“Aduh, kau ini. Dia ke sana untuk mengejar cinta seorang gadis. Sudahlah, kau baca saja sendiri. Aku pinjamkan ini seminggu. Itu sudah cukup lama untuk buku dengan tebal seperti ini. Hanya beberapa ratus halaman. Jangan telat mengembalikannya, atau kau akan kukenakan denda.” kata Pika sok galak.

Aku tergelak melihat tingkahnya. Aku kemudian mengambil buku milik Pika itu dan memasukkannya ke dalam ransel. Omong-omong soal hujan, aku jadi teringat kejadian ketika hujan hari Kamis lalu. Kertas itu masih kusimpan sampai sekarang. Tadinya aku bermaksud menceritakan hal itu pada Pika, tapi aku pikir nanti-nanti sajalah. Toh, Pika akan ke sini lagi besok, besoknya, dan besoknya, seterusnya setiap hari. Jadi kami memutuskan untuk membicarakan hal lain lagi sambil minum kopi, bersama angin malam menusuk tulang, semalam suntuk.


***


Hujan Kamis ini deras sekali. Aku terkurung di perpustakaan. Sekarang sudah pukul 4 sore, aku harus sampai di tempat kerjaku sebelum pukul 6. Aku mulai panik. Tidak, aku becanda. Aku hanya tidak tahu harus apa. Jadi, daripada bingung, aku memutuskan untuk melukis. 

Kali ini aku melukis seekor kucing. Mengapa kucing? Aku pun tak tahu. Lagi-lagi hal yang kita lakukan tidak harus selalu punya alasan. Kucingku jenisnya persia campur anggora. Sangat tidak jelas memang. Warna bulunya kuning keemasan dan hitam. Warna yang kontras. Aku sengaja memberinya warna begini kare...

BUK!

Sesuatu mengenai punggungku. Lagi? Aku buru-buru membalik badan. Kulihat sesosok wanita berlari menghilang di balik tembok sekat pemisah ruangan di perpustakaan ini. Aku langsung mengejar sosok yang kulihat sangat cepat tadi. Aku berlari tak kalah cepat. Ketika aku mencapai tembok tempat sosok perempuan tadi menghilang, aku menemukan pintu menuju halaman belakang perpustakaan. Aku berlari keluar perpustakaan kemudian berhenti karena aku sudah hampir basah kehujanan sekarang. Sambil mulai menggigil kedinginan, aku masih celingukan mencari sosok lincah tadi, namun aku tidak menemukan apa-apa. Sial. Aku kecolongan. Lain kali, aku akan tunggu kau, pelempar punggung.








To be continued...