Wednesday 27 February 2013

Chapter I

Aku menatap menembus jendela berkaca bening yang basah. Butiran air mengalir tepat di sana. Aku masih menempelkan hidungku pada kaca yang terasa begitu dingin. Rasa-rasanya butir-butir air tawar yang jumlahnya banyak itu seperti hendak mengenai wajahku ketika meleleh pada kaca. Dudukku pada sofa sudah tak tegak, semakin merosot ke bawah. Aku berusaha membetulkannya. Dengan enggan kutarik hidungku dari jendela. Kini aku malah termangu menatap pemandangan di depanku. Gedung pencakar langit, atap rumah yang begitu padat, jalanan basah yang tak kunjung sepi.


Sungguh, lama-lama aku muak dengan keadaan seperti ini, hidup di bawah atap apartemen di lantai 9 di kota Metropolitan yang makin lama makin membuatku jengah. Tak ada istilah ngerumpi tetangga, menyiram bunga, nonton anak-anak perempuan main congklak, apalagi melihat bocah-bocah tanpa beban itu berlarian di halaman. Tidak, tidak mungkin kan aku melihat anak-anak berlarian di halaman sementara yang aku dan penghuni apartemen lainnya punya hanya balkon seluas ini, maksudku sesempit ini. Bahkan sepertinya akan lebih indah kalau aku tinggal di sebuah rumah susun saja, setidaknya masih ada interaksi rutin minilai dua kali sehari pagi sore dengan tetangga sekitar.

Jika aku turuti keras hatiku, aku tidak akan mau tinggal di ruangan setangkup ini. Kalau orang bilang tinggal di apartemen itu asik, parlente, tidak begitu bagiku. Mana mungkin aku masih bisa berpikir bahwa apartemen ini begitu keren untuk jadi tempat tinggal setelah aku merasakan bagaimana memuakkannya tinggal di tempat yang seharusnya kusebut rumah ini. Belum lagi temanku tinggal di sini, seorang janda berumur 40 tahun, yang hobinya minta duit mantan suami dengan dalih untuk makan anak perempuan semata wayangnya, yang hobinya pulang jam 3 pagi dan membuat seisi ruangan semerbak alkohol dan rokok yang menyesakkan hidung. Ya, dia orang tua perempuanku. Aku memanggilnya Mama.