Sunday 31 March 2013

You



In the end, I think I know we're not gonna work out.
But I choose to stay with all of these circumstances.
Because those candies you bring me, I don't care how it will destroy my teeth,
I will just eat it and enjoy the sweet taste.
And you, all of those nice kindnesses in you, are just too tasty to pass over.

Tuesday 26 March 2013

Harmoni




Jika kamu rendah, jangan terlalu melulu meminta untuk tinggi.
Yang tinggi takkan tampak hebat jika kamu tak berdiri di sisi.

Jika kamu sedih, berbanggalah akan tiap tetes air mata.
Bukankah kita harus menangis dulu untuk tahu rasa bahagia?
Dan kadang harus tersungkur agar tahu apa arti bersyukur?

Jika kamu hitam, jangan ngoyo untuk jadi putih.
Papan catur takkan lagi dapat kamu atur jika warnanya hanya satu dan saling baur.

Menjadi seimbanglah.
Berselaraslah dengan mutlak pada  setiap jalan setapak yang kamu tinggali banyak rupa jejak.
Bersenanghatilah jika hari ini kamu berbeda dengan teman main, sahabat karib, atau bahkan saudara kandungmu.

Bukan hidup yang butuh harmoni.
Namun hidup adalah sang harmoni itu sendiri.

Sunday 24 March 2013

Gadis Payung



Gadis jelita itu berjalan terhuyung,
di bawah sisa gerimis dan langit mendung, menggunakan payung.

Matanya cantik, membuat kita seakan dilihat oleh keindahan lembayung.
Namun kini ia tampak murung.
Tatapnya tak lagi sedalam palung.
Senyumnya menyiratkan murung.
Ia tak lagi murah senyum.

Wahai gadis payung, kupinta kau untuk tersenyum..
Kami ingin menyaksikan elok wajahmu,
dan pipimu yang berlesung.






March 20th, 2013

Monday 11 March 2013

Sendiri?



Saya menatap lelaki yang tengah duduk bergeming di depan saya. Entah sudah berapa puluh menit saya tak diacuhkan olehnya. Sambil menyeruput iced lemon tea, saya menatap pria ini dalam diam. Ia sedang asik melamun, menatap kosong ke arah jam tangannya, seolah ada banyak hal menarik yang ia liat di sana. Saya menebak-nebak. Mungkin ia tengah menghitung, sudah berapa lama sosok perempuan kurus ini tak dihiraukannya. Atau mungkin ia bertanya, mengapa saya tahan duduk menatapnya berjam-jam dalam sunyi. Saya jadi tertarik untuk menghitung. Sudah lebih dari 5 jam kami duduk dalam hening di sebuah kafe kopi kecil di sudut jalan di pinggiran kota ini. 5 jam berarti 300 menit, berarti 18.000 detik, berarti 1.800.000 milidetik. Itu belum seberapa. Silahkan kali angka sejuta sekian itu dengan jumlah hari yang selalu kami lalui di sini, di kafe dan di meja yang sama, sejak 6 bulan lalu. Saya tidak akan menghitungnya lebih lanjut, itu malah akan membuat saya gila. Sisi baiknya, ternyata cinta bisa dihitung pakai logika matematika.

Saya kembali menatap lelaki di depan saya, masih kekeuh menatap gigih jam tangannya. Beberapa saat kemudian, ia menoleh pada saya. Kami saling tatap, entah berapa detik lamanya. Saya lantas menggenggam tangannya. Tak sesuai perkiraan. Saya menebak tangannya dingin, seperti mayat. Setidaknya itu kesan yang ia berikan melalui bibirnya yang pucat. Tapi punggung tangannya hangat, ternyata masih ada kehidupan yang tersemat.

'Jangan beri saya sentuhan kasihan.' Tiba-tiba bibirnya terbuka, suaranya pelan, berbisik, lembut, mengalahkan beludru. Sungguh tidak ada rasa kasihan dalam diri saya terhadapnya. Tapi tak apa, saya mengerti. Saya tidak ingin ia lebih menderita lagi dengan merasa diperlakukan begitu. Sayapun menarik tangan saya dan malah beralih menggenggam tangan saya yang lainnya.

'Terimakasih telah menemani saya selama ini.' Lanjutnya. Masih dengan suara sehalus dan semanis gulali. Saya ingin sekali menepis kalimat terimakasihnya. Itu sama sekali tidak perlu. Saya tidak butuh ucapan terimakasih miliknya. Saya yang dicap anti sosial malah teramat senang jika harus berbagi waktu dengannya setiap hari, meskipun di kafe yang sama selama berbulan-bulan, sungguh tak jadi masalah.

Ia begini sejak Ibunya, keluarga yang satu-satunya ia miliki, berpulang ke pangkuan Tuhan setengah tahun lalu. Saya sering bergumam, mungkin jiwanya pergi dan terbang bersama nyawa sang Ibu. Mungkin sekarang ruhnya di dimensi lain sedang duduk di pinggir kolam susu di surga di atas langit sana bersama orangtua itu sambil menonton bidadari tertawa merdu. Saya tidak mengerti tentang kehidupan setelah kematian. Saya awam soal itu. Namun saya sering merasa yang saya lihat dan temani setiap hari dalam 6 bulan terakhir ini adalah seseorang yang telah kehilangan nyawanya. Membayangkan jiwanya yang berada di alam lain itu membuat saya ngeri sendiri.

Ingin sekali rasanya saya memberitahu bahwa Ibunya berduka melihatnya seperti ini. Ingin sekali saya bercerita padanya bahwa dunia ini masih indah bersama segala rupa yang ada di dalamnya. Saya ingin mengingatkan bahwa Bumi punya 5 samudera, 5 benua dan triliunan manusia yang bernaung di bawah kubah biru indah yang kita namai langit. Saya ingin ia sadar bahwa pelangi itu cantik, bahwa bunga itu harum, bahwa hidup ini terlalu istimewa untuk disebut biasa saja. Hidup ini terlalu sempurna untuk dicela. Saya ingin ia tahu bahwa ia masih punya saya, yang setia memperhatikannya meratapi dirinya sendiri yang jiwanya terbang entah kemana. Saya ingin sekali membiarkannya tahu bahwa ia tidak perlu menangisi kepedihannya sendirian. Ia bisa pinjam bahu saya, atau jika memang ia tidak mau, saya, setidaknya, bisa memberikannya tissue dan segelas air putih. Sungguh tak ada yang perlu ia ratapi seorang diri dan terlihat begitu menikmati diamnya beserta siluet dari gemingnya sempurna. Tidak. Ia tidak perlu sendiri dan tidak perlu memilih untuk sendiri. Ya, tapi tak apa, saya mengerti. Kadang orang memang butuh ruang untuk dirinya, untuk bernapas dan menghabiskan oksigen sebanyak mungkin tanpa diganggu, untuk merefleksi dirinya, untuk mendengar suaranya sendiri tanpa dicampuri oleh bising yang lain.

Saya lantas kembali menggenggam tangannya. Ia menoleh. Saya tersenyum. Kali ini saya yakin, ia dapat merasakan bahwa tidak ada rasa kasihan dalam genggam tangan saya. Ia lalu balas menatap mata hangat penuh cinta milik saya dengan nanar. Namun kali ini saya merasakan bahwa tangan hangat miliknya balas menggenggam tangan saya. Erat. Benar-benar hangat. Setidaknya, respon sekecil itu sudah cukup bagi saya.

KITA

Orang bilang cinta itu rumit.
Lebih rumit lagi ketika harus menarik perhatian orang yang kamu cintai itu,
mungkin tujuannya agar balas mencintaimu.

Bagi saya justru sebaliknya. Atau mungkin malah bagi kita.
Kita tidak perlu banyak berkata untuk tahu apa yang kita rasa.
Kita tidak butuh  banyak suara, biarkan saja keheningan memecah suasana.
Kamu tidak perlu berkoar tentang politik, menggunakan mic, dan menggelitik para penguasa yang pantas dikritik.

Saya cukup mendengar kesunyian yang dipecah oleh gemingmu yang sempurna.
Atau mungkin mendengar dengkurmu di dalam hari yang selalu berhasil membuat saya terjaga dan merasa dijaga.
Atau bahkan menyimak igauanmu yang ngalur ngidul entah kemana.

Saya tidak mengerti puisi cinta, atau filosofi dibalik sebuket bunga mawar berwana merah, merekah.
Saya hanya mengerti bahasa dari setiap anggota tubuh yang kamu gerakan.
Saya hanya mengerti isyarat dalam setiap senyum yang kamu berikan.
Saya lebih suka membiarkan perasaan kita menari, bernyanyi, saling mengalir dalam banyak arti, tanpa harus dipaksa untuk mengerti.
Saya hanya akan membiarkan ketertarikan ini terisi oleh kita, duduk berdua, dalam diam di sebuah ruangan gelap, terlihat hampa namun bercerita.

Kita sungguh lebih dari sebuah kata cinta.
Kita sahabat, kekasih, saudara.
Makna kita berada di atas segalanya.