Saturday 12 December 2015

Oh, Tanya..



Tisha
Nothing to do.. Nowhere to be.. A simple little kind of free.. Nothing to do.. No one but me.. And that's all I need...
     Jam dinding menunjukan pukul 10.30. Suhu malam ini sudah cukup dingin, tak perlu menyalakan pendingin ruangan apalagi sampai harus menyeka keringat segala. Aku tengah berada di balkon rumahku, menyaksikan Tanya, adikku satu-satunya, termangu menatap langit kosong melompong sambil menggengam segelas coklat panas di tangannya. Kami terhanyut dalam suara apik John Mayer bersama Perfectly Lonely miliknya, ditemani desir angin yang makin lama makin menusuk tulang. Aku bingung, entah apa yang sedang dipikirkan Tanya sekarang. Tak sepatah katapun muncul dari mulutnya sejak ia sampai di rumahku sejam lalu.
     “Kamu kenapa sih, Ta?” akhirnya kuputskan untuk memecah sunyi di antara kami.
     Tanya menoleh padaku. “Kenapa apanya?” ia balik bertanya.
     Aku bingung harus jawab apa. Iya, kenapa apanya. Memang apa yang salah dengannya. Toh ini bukan kali pertama ia duduk termenung di balkon rumahku, lalu mengapa aku harus bertanya ia kenapa.

Tanya
“Kamu lagi ada masalah?” Tisha lagi-lagi bertanya padaku pertanyaan yang tidak bisa kujawab.
     Ya, memangnya aku kenapa? Apa yang salah denganku? Aku rasa tidak ada yang salah, bahkan aku tidak punya masalah. Ini bukan kali pertamaku duduk sediam ini di balkon rumah Tisha, kakakku, namun aku yakin Tisha pasti tahu, tidak mungkin aku sedang tidak kenapa-kenapa ketika sebegini diamnya. Tisha adalah orang pertama yang paling mengerti aku di dunia ini. Yang kedua Tommy, kakak lelaki kami yang paling tua. Lalu dimana kuletakkan ayah dan ibuku? Uh, it's a long story..
     Apa kata Tisha tadi, apa aku sedang ada masalah? Lagi-lagi aku mengulang pertanyaan Tisha dan berulang kali juga aku menjawabnya bahwa aku sedang tidak kenapa-kenapa. Setidaknya itu yang kupikirkan tentang diriku.
     Tisha terlihat masih menunggu jawabanku, seperti berharap aku akan bercerita tentang suatu kekacauan yang baru terjadi di hidupku, but I really don’t have anything to tell to her, at all. I’m fine. I’m totally fine. What does she expect? Aku menangis tragis di depannya menceritakan bahwa aku sedang… patah hati, misalnya? God, tapi tetap saja aku harus menghargai pertanyaan perhatian milik kakakku ini.
     “I’m okay, Tisha.” Ujarku dengan ekspresi paling meyakinkan di dunia. Setidaknya bagiku itu merupakan ekspresi paling meyakinkan di dunia.
     “I’m perfectly lonely.. I’m perfectly lonely.. I’m perfectly lonely cause I don’t belong to anyone.. Nobody belongs to me…
     Suara seksi John Mayer masih menemaniku dan Tisha malam ini. Tisha mulai kelihatan pasrah menanyaiku hal-hal yang sejujurnya memang tidak bisa kujawab.

***

Aku Pitania Hanan, bungsu dari tiga bersaudara, putri terakhir dari bapak Rudy Ahmad Hanan dan ibu Aliya Rosita. Jangan tanya kenapa Pitania bisa menjadi Tanya. Oke, aku mulai pusing dengan kalimat barusan. Nama panggilanku berubah dari Tania menjadi Tanya saat keisengan kulakukan ketika aku duduk di bangku sekolah dasar. Tidak ada alasan lain selain ingin terlihat keren jika huruf I diganti dengan Y. Sayangnya, teman sekelasku pada masa itu terlalu polos untuk membaca Y sebagai I. Alhasil, mulai saat itu dan sampai detik ini, aku dipanggil Tanya. Tidak jarang aku merasa kalimat yang kuucapkan menjadi rancu seperti yang barusan itu.
     Kedua orangtuaku bercerai ketika aku baru berumur delapan tahun. Kenapa mereka harus berpisah? It’s a long story and I seriously don’t want to talk about this, but well, let me tell you the main story. Ketika perceraian itu terjadi, aku dan Tommy memutuskan untuk ikut ibu, sedangkan Tisha ikut ayah, yang kebetulan saat itu bekerja sebagai seorang diplomat dan tengah ditugaskan untuk pindah ke Canberra, Australia. Setahun kemudian, ayahku meninggal di Canberra karena mengidap penyakit gagal ginjal yang sudah lama dideritanya. Tisha kembali pulang ke Indonesia, dan kami tinggal berempat di rumah suami baru ibuku. Setahun kemudian, ibuku meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat bersama suaminya dalam perjalanan mereka menuju Tokyo. Aku tahu, saat ini kalian pasti sedang merasa kasihan padaku. Tidak apa, aku sudah terbiasa dapat tatapan kasihan dari orang-orang sekitar. Seriously, guys, I don’t need your pity, but that’s okay, that’s how people these days act. Memberikan tatapan yang mereka kira dapat meringankan beban hidup seseorang but actually, it doesn’t work that way. I’ll tell you people, it makes everything worse. And you owe me a great thank you because I can tolerate people who gave me that pity look.
     Ponselku bordering, smartphone keluaran terbaru yang sebulan lalu diberikan Tommy sebagai hadiah ulang tahun ke-24. Aku menatap layarnya. Kevin. Aku melengos. Kevin, eksekutif muda, pengusaha kaya, ia kaya, keluarganya kaya, kaya dari sananya, kaya dari dulu, kaya dari nenek moyangnya. Aku tidak bermaksud untuk membuat diriku terlihat matrealistis karena keterangan kaya yang sebenarnya tidak penting itu, tapi serius, deh, dia memang kaya. Kevin anak semata wayang yang baru dua bulan kupacari. Jangan heran kenapa aku melengos barusan. Seperti yang sudah-sudah, pria manapun selalu terlalu bersemangat ketika menjadikanku pacarnya. Meneleponku tiap tiga jam sekali, mengirimiku pesan singkat setiap jamnya. Aku masih melongo menatap layar ponselku. What am I gonna do now? Reject this call? No, di beberapa bulan pertama jadian, I can't do that, reject his phone call. Bukan begitu aturannya. Maksudku, wanita macam apa aku ini jika aku melakukannya?
     “Halo..” akhirnya kuputuskan untuk menjawab telfonnya. Kulihat di depanku Tisha yang dari tadi asik dengan laptop dan tugas kantornya, seketika menoleh ke arahku, lalu kuberikan ia ekspresi paling malas milikku. Ia menghela napas, lalu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia mengerti betul adiknya yang satu ini. “Aku lagi di rumah Tisha. What is it, honey?” I’m trying to act normal, is it normal enough to him? I hope so.
     Kevin bicara panjang lebar  tentang kerjaannya yang katanya semakin membuat kepalanya ingin pecah. Ia bilang ia ingin tadinya mampir ke apartementku agar ia merasa lebih baik setelah bertemu denganku, namun sayang sekali aku sedang tidak berada di sana. And I really thank God I wasn't in my apartment when he came by.
     “Suami Tisha lagi di luar kota, makanya aku nemenin dia di sini. Besok malam aja ya kita ketemunya.” kataku semanis mungkin. “Okay. I’ll see you tomorrow, babe. I love you too.” Klik. Aku memutuskan panggilan. Aku kembali menatap Tisha yang dari tadi masih memperhatikanku. Aku mengangkat bahu.
     “You really have to stop doing this, dear.” ujar Tisha.
     “I want. I just can’t.” balasku.

Tisha
I want. I just can’t.” ucap Tanya dengan ekspresi paling melas sedunia.
     Aku tahu sekali kalau adikku sudah bersikap seperti ini. Pantas saja ia dari tadi tutup mulut, ternyata memang tengah ada suatu hal. Tanya, lagi-lagi, menjalin hubungan dengan seorang pria yang tak benar-benar ada di hatinya. Tanya, seorang wanita cerdas, periang, pekerja keras, supel, tangguh, dan diidam-idamkan banyak pria, tanpa disangka telah lama memendam perasaan pada teman sekolahnya dulu. Aku tidak akan sebut siapa orangnya, Tanya bisa ngamuk padaku.
     “Mau sampai kapan kamu begini?” tanyaku akhirnya.
     “Gak tahu.” Tanya menggeleng ringan, “Sampai ada yang kasih aku cinta yang dalam, mungkin. Aku bosan dengan hubungan dangkal.” lanjutnya, kemudian menyeruput coklat panasnya yang sudah mulai dingin.
     Aku mengerutkan dahi karena bingung dengar jawabannya barusan. Bukannya selama ini para pria itu selalu berikan Tanya cinta yang dalam, penuh romantisme, dan segala macam perhatian. Mengapa adikku ini masih bisa berkata seperti itu. “Memangnya selama ini kamu gak dapat itu dari mereka, para pria yang mengidam-idamkan kamu, pacar-pacar kamu itu?” tanyaku kemudian.
     Tanya menghela napas dengan pertanyaanku barusan. Ia terlihat semakin tak bersemangat saja, namun akhirnya ia menjawab pertanyaanku. “Selagi masih kenalan atau dikenalin terus ngobrol via BBM, WhatsApp or whatever it is, lalu berkomunikasi intens setiap hari, teleponan tiap malam selama berjam-jam, lalu sebulan kemudian si cowok nyatakan cinta, bilang sayang bahkan sayang banget, itu namanya masih dangkal. I’m not looking for that kind of thing. I’m not looking for that kind of guy. I don’t want to spend the rest of my life with those shallow men who think that they have their deepest love for me while in fact they don't. They think  they love me deep, but no, they don't. Hell no, Tisha.” jawab Tanya panjang lebar.
     Aku termangu mendengar penjelasannya barusan. Sebegitu inginnya adikku mendapati kisah cinta perlahan, terkesan alot bahkan, namun berarti, setidaknya bagi dia. Seperti film-film komedi romantis itu. Kurasa adikku terlalu banyak nonton film drama percintaan. Then what kind of relationship with what kind of guy that you want?” tanyaku lagi.
     “Ya, seseorang yang datang perlahan, yang memperlakukanku secara sederhana, yang membuatku merasa nyaman, yang bersikap apa adanya seperti seorang teman, yang bisa menarik ulur dan mengobok-obok perasaanku selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, membuatku bertanya-tanya apakah ia memang menyimpan perasaan tentang hubungan kami, yang tidak susah payah mengumbar kata cinta namun percaya bahwa kami saling bisa merasakan cinta. That’s what I want. Ketika semua berjalan pelan-pelan, ketika salah satu bahkan mungkin keduanya merasa bimbang, akan ada perasaan takut kehilangan namun tetap tak ingin terkesan saling mengekang, ketika itulah akan muncul rasa saling menghargai yang tinggi satu sama lain dan terhadap hubungan itu sendiri.” Tanya menghentikan kalimatnya. Aku semakin shock saja mendengar ia berkata demikian. “You know, when you like someone, your feelings don’t just happen, you create them. You can’t say that you love the person that you know in a month. It’s bullshit and it doesn’t make any sense. That’s why we need process. It takes long time to built something strong between two people’s hearts. Sebulan, come on,  coba kamu bayangin, Sha, itu cinta kayak gimana dangkalnya.” lanjut Tanya.
     Ada benarnya juga yang Tanya bilang. Aku ingat, ketika aku baru mengenal Ardi, suamiku, bertahun-tahun kami berteman dekat dan saling menyimpan rasa. Kami bahkan pernah menjalin hubungan dengan orang lain. Sampai akhirnya Ardi jujur bahwa sebenarnya ia menaruh hati padaku. Jadi itu yang diinginkan adikku ini.
     Aku tidak ingin membantah kalimat Tanya barusan, akhirnya kutanyakan lagi hal yang paling menggangguku selama beberapa tahun belakangan ini, “Lalu kenapa kamu biarkan para pria dangkal itu memasuki hidupmu? Setahun kamu bisa tiga kali ganti pacar. Berarti kamu dangkal juga, dong?”
     “Hahaha.. Tisha, Tisha. My dearest sister. Kamu tahu kok kenapa aku melakukan ini. Bukan soal aku ingin menyeleksi yang terbaik dari sekian banyak itu. Bukan juga soal aku sudah menjadi dangkal seperti mereka juga. Aku hanya ingin mengalihkan perasaanku dari seseorang yang kamu tahu siapa.”
     “The more you try to forget him by using those men, the more people you’ll hurt.
     “I know, Sha, but it is relationship. That’s our consequences. Relationship means you’re hurting someone or get hurt buy them. It’s up to you.
     “Mau sampai kapan kamu nunggu dia?”
     “Sampai aku rasa cukup. Entah kapan.”