Saturday 21 January 2017

Resah

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@weirick?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Jake Weirick</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/woman-coffee-shop?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>


Harusnya ikut kututup tirai-tirai langit itu
ketika matahari menyembunyikan rupanya
di balik selimut luas yang kausebut laut,
untuk sekadar menyamarkan gundah-gundah
yang tak patut kita sembah.

Bersama dengan sosokmu yang pudar
dalam hening-hening lampu temaram,
kupastikan aku masih dapat melihatmu
duduk menatapku nanar
dengan segala macam kegelisahan
yang tidak pernah benar-benar kauucapkan.

Aromamu selalu lebih tajam dari puluhan belati,
dan aku rela ditikam berkali-kali.
Sekali lagi kurengkuh tubuh ringkihmu yang meringkuk tertunduk,
di sela-sela jariku pada tiap-tiap helai rambutmu,
ada detak jantungku yang berderu menggebu-gebu.

Kuperhatikan terus wajahmu yang minim mimik-mimik,
senyum-senyum letih itu terus saja membuatku bergidik.
Dalam sisa-sisa tenaga yang kaupunya,
hangat tubuhmu tetap mampu memelukku begitu eratnya.

Kita telah cukup lelah menggapai sesuatu yang tak tercapai,
namun katamu belum tiba gagal itu,
dan belum saatnya berhenti menyusuri hilir yang dituju.

Katamu daun-daun dan ranting-ranting itu masih tumbuh,
dan keyakinan-keyakinan itu,
kaubilang kita hanya perlu bersungguh-sungguh.

Dengan segala ketidakmampuan merealisasikan bentuk-bentuk asa,
tetap setia kita teriakkan doa-doa kepada Dia Yang Esa.

Tuhan,
pada dinding-dinding hati yang merekah rasa gelisah berbongkah-bongkah,
resah-resah itu lenyapkanlah.