Saturday 24 December 2011

Having a Coke With You


is even more fun than going to San Sebastian, IrĂșn, Hendaye, Biarritz, Bayonne
or being sick to my stomach on the Travesera de Gracia in Barcelona

partly because in your orange shirt you look like a better happier St. Sebastian
partly because of my love for you, partly because of your love for yoghurt
partly because of the fluorescent orange tulips around the birches
partly because of the secrecy our smiles take on before people and statuary

it is hard to believe when I’m with you that there can be anything as still
as solemn as unpleasantly definitive as statuary when right in front of it
in the warm New York 4 o’clock light we are drifting back and forth
between each other like a tree breathing through its spectacles

and the portrait show seems to have no faces in it at all, just paint
you suddenly wonder why in the world anyone ever did them

I look at you and I would rather look at you than all the portraits in the world

Saturday 3 December 2011

Back to Heaven's Light

Once in a dream, I saw you telling me
That you’ve traveled in the dark
Just to find that little spot
How you’d settle for a light
In the vastness of the night
Then I saw some tears were coming from your eyes
As you said you’d found your paradise
And I began to ask you: Why you have to cry?

And now, it’s so dreamlike I hear you telling me
It’s been such a perfect grace; it’s been such a perfect place
To be in my heart at last, and have angels singing you a song
And it’s time for me to say goodbye to those eyes
To let you go so sleeplike and hear your whisper:
Why we have to cry?

It’s a journey, you say, an illusion of a journey
Now you can’t see where it ends and where it starts
It’s our life and our love that you wish to have,
Where you wish to be

In this tiny spark of memory, mortality
What’s left for me to do is to welcome you home
Back to my heart, back to heaven’s light
Back to my heart, and we’re never apart

It’s a journey, you say, an illusion of a journey
Now you can’t see where it ends and where it starts
What’s left for me to do is to welcome you home
Back to my heart, back to heaven’s light
Back to my heart, and we’re never apart

Sunday 18 September 2011

Petrichor

I love rain.
I love it when those hundred cubic of waters touch the ground.
I love it when I hear the water gurgling on the puddle.
I love it when those birds fly recklessly to safe themselves from those waters attacks.

I always love rain.
I love it when the rainbow comes after all of those wet things fall down.
I love it when I see those colors bend perfectly.
I love it when I'm sad to know that my annoying camera can't capture the details of the rainbow.

I will always love rain.
I will always love the cold wind that blows my hair.
I will always love that excellent moment after the rain falls down.
I will always love the smell of the rain, the petrichor.

I'll just always love it, I'll always think that rain is just really beautiful.
Too beautiful to ignore, too amazing to be not seen.

Friday 16 September 2011

Film Anak Bangsa

Minggu ini saya sudah 2 kali berturut-turut nonton film bioskop. Hari pertama saya nonton film dengan abang sepupu dan seorang kakak yang kelak mungkin akan menjadi pendampingnya. Waktu itu dari 6 studio yang ada, 5 studio diisi oleh film karya anak bangsa. Saya lupa apa saja judul filmnya, yang pasti waktu itu kami memilih untuk menonton film Lima Elang. Film ini berkisah tentang 5 orang anak Sekolah Dasar yang mendapatkan pengalaman berbeda dari teman-temannya lain ketika sedang mengikuti acara kemah untuk mendapatkan Lencana Bintang Utama di Bumi Perkemahan di Kalimantan Timur.
Bagi saya sendiri, setelah menonton film ini, entah mengapa saya begitu bersemangat, seperti mendapatkan sugesti yang teramat positif dari film ini. Di akhir film, kelima anak tadi yakni, Baron, Rusdi, Aldi, Anton dan Sindai tidak berhasil mendapatkan Lencana Bintang Utama, namun justru di sanalah dapat kita ambil sebuah pelajaran.
"Tak penting apa hasil yang kau dapatkan di akhir, yang terpenting adalah apa saja pelajaran yang kau dapatkan selama perjalananmu menuju tujuan akhir tersebut." Ya, itulah pesan yang saya dapat dari film Lima Elang.

***


Keesokan harinya, tepatnya hari Senin, saya mengajak teman lama untuk keluar, sekedar melepas suntuk. Padahal baru kemarin saya keluar dengan abang dan kakak. Ya, dikarenakan sekarang liburan, saya menjadi tidak betah berlama-lama di rumah karena sudah terbiasa dengan rutinitas dari pagi sampai sore yang saya jalani selama hari-hari kuliah. Sebenarnya kami tidak ada niatan nonton, hanya sekedar berkeliling tak tentu saja. Namun saya bertanya dalam hati, hendak kemana lagi kah di Pekanbaru ini? Akhirnya kami memutuskan untuk menonton lagi. Awalnya teman saya ragu hendak menonton apa, dengan alasan bingung karena 5 dari 6 studio yang ada diisi oleh film Indonesia. Namun kemudian saya bantah, "Saya ingin nonton Tendangan Dari Langit." akhirnya iapun setuju.
Selagi kami mengantri tiket, di belakang saya terdapat beberapa orang anak lelaki, agaknya saya menaksir umurnya di bawah saya meski dari postur tubuh memang saya kalah jauh di banding mereka yang tinggi-tinggi menjulang. Di antara dari mereka ada yang sibuk saja mengoceh mengomentari film-film yang sedang diputar di bioskop. Ia yang kesulitan berbicara karena cadel dan agak sedikit gagap terus saja nyerocos mengomentari hal-hal yang sebenarnya menurut saya belum menjadi kapasitasnya untuk dikomentari. Jujur hal itu membuat saya gerah, jengah. Apalagi ketika saya dengar ia berkata pada temannya, "Gak usah nonton film Indonesia lah, nggak ada yang bagus!" Astagaa, sok tahu sekali mahkluk ciptaan Tuhan yang satu ini.
Tapi buktinya, setelah saya selesai menonton film Tendangan Dari Langit, film yang disutradari Hanung Bramantyo ini termasuk film bermutu. Entah karena tingkat selera saya yang rendah terhadap suatu hal, atau bagaimana, yang jelas di mata saya, film ini punya sesuatu yang dapat kita ambil. Film yang bercerita tentang Wahyu, seorang anak dari Bromo yang mencintai sepakbola hingga akhirnya dengan semangat yang ia punya, ia mampu bermain bersama Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan di pada pertandingan Jayakarta vs Persema. Eh, sekali lagi, jangan tertipu dengan cerita di atas. Ini hanya film. Tapi lagi-lagi, tak bisa saya pungkiri, sedikit banyak film dapat memberikan sugesti terhadap si penonton.

Saya miris ketika banyak sekali orang yang menjudge bahwa film Indonesia tidak ada yang bagus. Siapa bilang? Lalu kalian anggap apa sineas-sineas muda berbakat yang dimiliki oleh Indonesia? Riri Riza dan Mira Lesmana dengan Gie dan Laskar Pelangi-nya, Joko Anwar dengan Janji Joni-nya, belum lagi Deddy Mizwar dengan film-film bermutunya yang begitu banyak jumlahnya itu, dan masih banyak lagi sineas muda Indonesia yang kerap mendapatkan penghargaan di berbagai festival film baik di dalam maupun luar negeri. Mungkin bukan porsi saya untuk banyak berkoar-koar tentang film mengingat kemampuan saya yang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka-mereka yang sudah lebih menguasai hal yang saya bicarakan ini. Namun inilah kejujuran saya, akan kesedihan yang saya dapat dari melihat prilaku penikmat film Indonesia yang tidak bisa menghargai dan mengapresiasi karya anak bangsa. Memang tidak ada salahnya menonton film luar, itulah yang disebut hak asasi, namun tidak perlu sampai mencap buruk film negeri sendiri bukan?

Kalau mau keras dan rasis, saya bisa saja beberkan film-film produksi siapa yang hanya mampu menampilkan paha-paha mulus bintang antah-berantah dan beralibi membungkus film-film tersebut dengan kemasan berlabel horor. Saya bisa buktikan bahwa film-film tersebut bukan keluar dari tangan dingin Riri Riza, Nia DiNata, Joko Anwar, Mira Lesmana, Deddy Mizwar, Hanung Bramantyo dan mereka yang profesional lainnya, mereka yang selalu memberi pesan moral mendalam dalam setiap scene yang mereka tampilkan, mereka yang selalu mengirimkan sebuah film yang syarat akan makna, mereka yang memperlihatkansisi lain kehidupan, kebudayan, dan kebiasaan masyarakat Indonesia bahkan keindahan berbagai lokasi di Indonesia yang belum pernah terbayangkan oleh kita sebelumnya, mereka yang selalu menginginkan sebuah perubahan dalam dunia perfilman Indonesia, mereka yang hebat namun masih direndahkan bahkan oleh teman-teman sebangsanya sendiri.

Bukalah diri kalian, saudara-saudariku, melihatlah dengan mata, mendengarlah dengan telinga, dan renungkan semuanya dengan hati, kalau bukan kita yang menghargai negara ini, siapa lagi yang akan menghargainya? Kalau bukan kita yang mempercayai bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar, apakah mungkin bangsa lain akan menganggap kita bangsa yang besar?

Monday 12 September 2011

Orang Yang Jatuh Cinta Diam-Diam

Orang yang jatuh cinta diam-diam tahu dengan detail semua informasi orang yang dia taksir, walaupun mereka belum pernah ketemu.
Orang yang jatuh cinta diam-diam memenuhi catatannya dengan perasaan hati yang tidak tersampaikan.
Orang yang jatuh cinta diam-diam selalu bertingkah seperti seorang penguntit.
Orang yang jatuh cinta diam-diam pada akhirnya selalu melamun dengan tidak pasti, memandang waktu yang berjalan dengan sangat cepat dan menyesali semua perbuatan yang tidak mereka lakukan dulu.
Orang yang jatuh cinta diam-diam harus bisa melanjutkan hidupnya dalam keheningan.

Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa mendoakan.
Mereka cuma bisa mendoakan, setelah capek berharap, pengharapan yang ada dari dulu,
yang tumbuh dari mulai kecil sekali, hingga makin lama makin besar,
lalu semakin lama semakin jauh.

Orang yang jatuh cinta diam-diam pada akhirnya menerima.
Orang yang jatuh cinta diam-diam paham bahwa kenyataan terkadang berbeda dengan apa yang kita inginkan.
Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang tidak kita sesungguhnya kita butuhkan.
Dan sebenarnya, yang kita butuhkan hanyalah merelakan.

Orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa, seperti yang mereka selalu lakukan, jatuh cinta sendirian.




-Raditya Dika, Marmut Merah Jambu-

Monday 29 August 2011

Dream

"A dream
Is it possible that a dream leaves you really hurt and confused?
After all, it is just a dream.
It does not touch you.
It does not do anything to you.

But it does.
it does."


- Winna Efendi