Sunday 13 November 2016

Di Toko Buku


Sore itu, senja menyapa tanpa kata. Hanya ada kita dan pasang-pasang mata yang enggan menatap, dan bibir-bibir bungkam yang menolak bersuara. Adalah sosokmu yang datang dengan sepasang sepatu coklat, dan kemeja hijau tua yang warnanya lebih gelap dari langit. Dalam sebuah ruangan hangat dengan rak-rak terisi banyak buku bersampul aneka rupa, mereka seolah menunggu kita saling bertegur sapa.

Sore itu, aku mengambil kesimpulan bahwa kau lebih menarik untuk kubaca dibanding buku dengan judul dan alur cerita apapun. Atau dari cakram padat berisi puluhan gubahan dengan berbagai aliran, suara rendahmulah yang lebih kutunggu-tunggu untuk melagu.

Sore itu, aku membaca binar-binar matamu ketika kaubercerita tentang hal-hal yang kausuka, atau ketika kau sekadar ikut menyanyikan lagu-lagu asing entah milik siapa. Dan gerak-gerak tanganmu di udara lepas. Dan senyum-senyum tipis penuh daya magis. Dan semua gestur milikmu. Semua itu kubaca tanpa rasa ragu.

Sore itu, dan sore-sore di hari-hari berikutnya, di sebelahmu adalah tempat paling liar di muka bumi, diiringi tawa-tawa riuh itu, dan bagaimana kaumenyentuhku tanpa kau perlu menggunakan kedua tanganmu. Kuyakini kita tidak akan kehabisan waktu untuk terus membaca lembar demi lembar yang tersaji.

Sebab kau adalah kumpulan buku-buku yang sampulnya temaram lalu menjadi satu. Seperti senja sore itu, kau hadir suguhkan ribuan hal dan cairkan sudut-sudut hati yang beku. Lalu aku adalah buku yang dikurung oleh gembok dengan kunci yang tersimpan entah di mana, namun untukmu, kuberikan kunci itu secara cuma-cuma. Ketika kau mulai membaca, akan kautemukan segala macam yang mengisi jiwa.

Dan kita adalah buku dengan kertas berjumlah tanpa batas, dengan warna-warni imaji menggeliat bebas, yang memilih untuk bertukar ragam cerita, berharap saling menemukan banyak kejutan setiap kali membuka halaman selanjutnya.

Sungguh aku menikmatinya, di toko buku sore itu, dan tentu saja sore-sore di hari-hari berikutnya, bersama aromamu yang lebih tajam dari lembar-lembar sebuah buku baru.



Jakarta, November 9th, 2016

Wednesday 13 April 2016

Deret Angka Tanpa Makna?


Hidup seperti matematika, katanya. Hampir semua hal dalam hidup ini berhubungan erat dengan angka. Mulai dari tanggal, bulan, dan tahun lahirmu, usia, tinggi dan berat badanmu, pukul berapa kamu tidur, berapa indeks prestasi komulatif yang kamu dapat di kampus, sampai total gaji yang kamu terima setiap bulannya. Semuanya berhubungan dengan angka. Tanpa angka, akan dengan apa semua hal tadi dijelaskan? Bagaimana caramu membeli sepatu jika tidak ada angka? Haruskah kamu mengukur panjangnya dengan alat lainnya? Tapi lagi-lagi, kamu pun butuh angka untuk melakukan itu.

Belasan deret angka yang ada dalam total rekeningmu di bank mungkin dapat memperlihatkan bahwa kamu adalah seorang pengusaha sukses, kamu mampu membeli rumah di mana pun kamu mau, dengan mobil-mobil harga ratusan juta yang terparkir anggun dalam garasi yang dirancang sedemikian rupa keamanannya.

Tiga digit angka pada indeks prestasi komulatif yang disebut oleh rektormu ketika wisuda, serta berapa lama kamu menghabiskan waktumu dalam sebuah institusi pendidikan tinggi dapat membuat orangtuamu bangga atau malah membuatmu malu, ketika semua wisudawan, wisudawati, dan hadirin tahu bahwa kamu membuang waktumu—mereka bilang lulus kuliah terlalu lama adalah buang-buang waktu— lebih lama dibanding yang lainnya.

Mereka bilang, angka-angka yang muncul pada alat ukur ketika kamu mengukur tinggi dan berat badanmu dapat menentukan betapa dirimu menarik atau tidak. Bahkan, dalam sebuah tes pendidikan atau pekerjaan yang memiliki standarisasi tertentu, angka-angka tadi bisa saja dengan mudah membuatmu diterima atau ditolak.

Sebegitu pentingnya deretan angka dibutuhkan dalam segala hal, namun apakah angka serta-merta dapat menjadi tolak ukur dalam segala hal pula? Saya rasa, kesuksesan, kecantikan, atau apapun hal di dunia ini—yang mayoritasnya menuntutmu untuk memiliki angka tinggi—yang ada dalam hidup manusia, tidak dapat ditakar dengan permainan angka-angka yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Jangan biarkan deret angka tanpa makna itu mendefinisikan siapa, bagaimana, dan seberhasil apa dirimu dalam hidup.

Thursday 4 February 2016

Senandika

Malam menjadi pucuk-pucuk segala rupa.
Bagi kata-kata mengutuk,
Untuk kepala-kepala yang terantuk,
Dan jiwa-jiwa penuh rasa kantuk.

Kepadanya semua pulang,
Bernaung di bawah tempat usang yang kau sebut rumah.
Dibalik selimut apek yang tak dicuci berminggu-minggu,
Kau mengadu pada sang ibu ketika ibu pertiwi terasa tiri.

Kau memimpikan hujan-hujan,
Penghilang rasa haus dahaga dan gersang.
Dalam pelukan semesta,
Bersama mimpi-mimpi yang hilang,
Ditelan para penguasa jalang.

Bintang-bintang yang kau hitung tiada guna,
Ada ribuan bahkan jutaan,
Lenyap bersama sang gelap.

Kemana, kemana sang bulan pergi?
Oh, rupanya sedang ngopi-ngopi bersama matahari.

Ada gumpalan hitam menuju dimensi lain,
Ternyata itu yang mereka sebut lubang cacing.
Membawa tubuh ringkihmu pergi,
Dari dunia yang timbulkan perih tak terperi.

Saturday 30 January 2016

Pagi Para Perantau

Seperti biasa, ada suara kokok ayam jantan entah milik siapa yang setiap harinya melagu di pagimu yang lembab, mengisi fajar-fajar penuh warna oranye muda.

Adalah engkau yang berdesakan di jalanan demi sampai ke tempat tujuan yang kau sebut kantor sambil terkantuk-kantuk sisa bekerja semalam suntuk. Hatimu mengutuk bos terkutuk. Kau merasa pekerjaan paling berat setiap pagi adalah membuka mata karena cangkir-cangkir kopi hitam tadi malam hanya memberi khasiat beberapa jam semata.

Kau tidak tidur lagi kali ini, demi membahagiakan pekerjaan sang bos dengan harapan naik gaji. Ketika orang-orang pulas tidur untuk bermimpi, kau malah bermimpi untuk tidur.

Pagimu yang dingin dihadiahi asap-asap dari pengendara lain yang kau anggap kurang beradap. Dadamu pengap.

Decitan ban kendaraan mengisi pagi-pagimu yang beku, sebeku hatimu mendengar keinginan sang ibu yang memintamu pulang, namun kau tak punya cukup uang.

Teriakan kenek angkutan umum terdengar sayup-sayup di daun telingamu yang layu. Tidak ada perempuan dalam hidupmu, untuk tidur pun kau sering tak punya banyak waktu.


January 6th, 2016

Sunday 3 January 2016

Memasang Bola Lampu

Kau berjinjit-jinjit mengangkat tanganmu menuju ke atas kepalamu, sulit. Menggapai-gapai apa yang ingin dicapai.

Kau memandang ke atas, tempat yang tak begitu tinggi. Pikirmu itu dapat kau capai dengan mudah menggunakan alat bantu apa saja, tangga bambu, tangga besi, kursi, enggrang jika keseimbanganmu bagus, atau bantuan dari seseorang yang lebih tinggi, jika mereka bersedia.

Kau mencari-cari segala bentuk bantuan yang kusebutkan tadi, namun tidak menemukan apapun. Kau kira kau memiliki segala alat bantu itu, nyatanya tidak. Kau harus mencarinya sendiri, segala bantuan tadi. Tidak seperti acara adu ketangkasan di televisi yang semua alat bantunya disuguhi dan kau hanya tinggal pilih.

Kau sendiri, berdiri menatap ke atas, tempat yang tidak begitu tinggi, di ruangan kosong berukuran sekian kali sekian meter yang tak kau tahu pasti. Kau sendirian, kepindahanmu ke tempat baru, lalu kau ingin memasang bola lampu. Tubuhmu rendah, tidak tinggi, dan kau sendiri, apa yang bisa kau lakukan dengan itu?

Kau berjinjit-jinjit mengangkat tanganmu menuju ke atas kepalamu, menggapai-gapai yang ingin kau capai, itu bahkan terasa sangat sulit, walau hanya untuk sekadar memasang bola lampu. Kau terus menggapai ruang hampa, hanya udara diam yang kau sentuh dengan kedua tanganmu. Kau lelah, susah-susah berpeluh basah, usahamu sia-sia.

Seperti hidup dan mimpi.

Kau bersama segala sanak saudara, sahabat, dan kerabat. Kau dan uangmu di dalam tabungan yang tak seberapa itu, serta benda elektronik canggih yang kau beli ketika rilis edisi terbaru. Namun kau sendiri. Kau sendiri.

Manusia-manusia penuh mimpi tidak akan merasa cukup bahagia dengan benda-benda mati jika mimpi dan hasratnya yang tinggi tak ia miliki. Kongkow-kongkow tiap malam Minggu, haha-hihi minum Martini, tidak berarti, ketika jam 3 pagi kau pulang ke sebuah apartemen mewah yang masih kau cicil setiap tahunnya, dan kau menyadari mimpi-mimpi yang ada dalam angan belum berada di genggaman.

Benda-benda mati hanya pelengkap kebahagiaan, mimpi-mimpi itulah yang membuatmu tetap hidup dan bertahan. Bersama puluhan teman-teman yang hanya ada ketika bersenang-senang, terbahak-bahak sampai beruarai air mata sejenak, lalu kau pulang dan lagi-lagi kau sendiri. Kau sendiri.

Jika tak ada bantuan dan dengan segala dayamu yang pas-pasan, serta kau tak pandai-pandai menggunakan kesempatan dan segala kemewahan, kau hanya akan berjinjit-jinjit tak berguna, menggapai-gapai yang ingin kau capai; mimpi, namun yang kau gapai hanya ruang hampa, udara diam yang menyentuh kedua tanganmu, dan hatimu yang gelisah.



3 Januari 2016
di sebuah ruang kosong yang gelap