Tuesday 10 April 2018

Kencan Daring dan Kisah Cinta Hilang Makna

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@priscilladupreez?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Priscilla Du Preez</a> on <a href="https://unsplash.com/?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>



Kalau dipikir-pikir, mungkin adalah sebuah hal konyol ketika saya dan jutaan warga dunia lainnya menggantungkan urusan cinta kepada sebuah aplikasi gratisan yang menjanjikan seorang belahan jiwa dan berharap sang jodoh akan tiba secara cuma-cuma dari gawai seukuran telapak tangan. Geser ke kiri dan ke kanan, semudah itu kini menilai ratusan orang asing yang berpotensi untuk jadi sang jodoh kelak. Tanpa perlu pikir panjang, tidak usah buang-buang waktu, cukup mudah menentukan suka atau tidak suka.

Manusia memang se-judgemental itu, semua dapat kita nilai dan pilih seenak jidat tanpa perlu repot-repot mengenal para calon kekasih itu terlebih dulu, bahkan berhasrat untuk mengenal pun tidak. Semua bisa langsung dinilai berdasarkan data yang sangat ala kadarnya: wajah, umur, pekerjaan yang tertera — itu pun kalau ada, dan foto-foto terbaik yang dipajang dengan narsisnya. Percayalah, beberapa tahun terakhir saya habiskan waktu swipe sana-sini hanya untuk mengisi kebosanan. Semua niat untuk kenalan akan luntur ketika matched dengan seseorang di sana, apalagi ketika menemukan fakta bahwa mereka tidak menarik-menarik amat karena kalimat pertama yang mereka lontarkan hanya sekadar perkara tinggal dan bekerja di mana.

Lalu apakah salah berharap sesuatu yang besar dan wah akan terjadi dengan cara instan dan mudah? Berharap dapat jodoh padahal usahanya hanya sebatas geser jempol ke kiri dan kanan. Saya tidak bilang bahwa kencan daring mutlak untuk orang-orang yang putus asa alias hopeless. Well, in some part, maybe it is hopeless, but we also know that we use our phone and internet a lot on a daily basis. We even talk more on the internet than we do in our real lives, jadi saya rasa tidak ada salahnya mencari calon pujaan hati di internet. Toh, kata orang jodoh itu jorok karena bisa ditemukan di mana saja, termasuk dunia maya.

Manusia adalah makhluk dinamis, adaptif terhadap perubahan, termasuk dalam urusan mengikuti perkembangan zaman. Entah itu baik atau buruk, teknologi yang maju saat ini sedikit banyak telah mengubah cara manusia menjalani hidupnya: bekerja, bersosialisasi, dan soal uruan mencari jodoh. Memang ada fakta bahwa banyak yang menemukan jodohnya dan menikah dengan seseorang yang mereka temukan di internet, melalui aplikasi kencan daring, media sosial, dan semacamnya-dan semacamnya. Bahkan seorang teman dari kantor lama saya memutuskan menikahi istrinya saat ini setelah bertemu di Tinder dan melakukan penjajakan selama kurang dari setahun. Namun, itu semua adalah sisi indah dari balada pencarian jodoh di dunia maya. Jika itu terjadi padamu, maka beruntunglah kau. Sisi buruknya? Sepertinya lebih banyak. Mulai dari munculnya fenomena ghosting — tiba-tiba muncul dan tiba-tiba hilang seperti hantu, hingga kisah kencan daring mengerikan lainnya yang bisa dengan mudah ditemukan di internet.

Kencan daring yang populer beberapa tahun terakhir tanpa disadari telah membentuk pandangan dan pola pikir manusia terhadap definisi hubungan itu sendiri. Kencan daring memberikan begitu banyak kemudahan dan pilihan; seseorang akan diberikan pilihan berupa ratusan perempuan cantik dan lelaki tampan yang diidam-idamkan seperti yang ada dalam khayalan. Hal ini membuat banyak orang menjadi bersikap cukup “seenaknya”, semudah dan seenak geser ke kanan dan kiri tentunya. Untuk apa susah payah berusaha kalau semuanya sudah sangat mudah sejak awal? Pendekatan dengan cara-cara instan pun dilakukan, bertemu sekali, dua kali, dan ketika ada sesuatu yang dirasa merepotkan lebih baik tinggalkan saja, lalu silakan buka kembali aplikasi kencan daringmu dan move on ke pilihan selanjutnya.

Hasrat untuk mendapatkan jodoh idaman dengan cara mudah dan instan seperti ini membuat kisah cinta menjadi kehilangan makna. Tidak benar-benar ada kedekatan emosi yang mendalam, atau untuk sekadar mencari tahu sang calon pasangan suka makan di mana dan apa warna favoritnya, karena sebelum tahu apa saja kesukaan dan ketidaksukaannya, semuanya sudah usai begitu saja. Seseorang begitu mudahnya berubah pikiran, menyerah, dan meninggalkan sebelum pernah benar-benar berusaha untuk mempertahankan. As if meeting someone through an app make them less of a human, so it’s okay to hurt each other’s feelings and leave when things get inconvenient. Such an ugly truth.

Faktanya, seinstan apapun, mie instan saja tetap butuh proses dalam penyajiannya. Lalu apakah ‘harga’ yang harus dibayar untuk mendapatkan jodoh kini lebih murah dari sebungkus mie instan?

Wednesday 4 April 2018

Hujan

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@wx1993?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Raychan</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/rain-street?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>



Jalanan basah malam itu, beserta mataku.
Hujan adalah kelambu bagi jiwa-jiwa penuh dahaga dan raga yang ingin terbebas dari derita.
Rintik itu menghadirkan rindu pada matahari yang lalu, sementara aku hanya lah sebuah bola lampu.
Dan kita terus saja berlari mengejar apa-apa saja yang fana, mungkinkah selama ini kita hanya menyulam luka?

Ada kita, tanpa jeda, tanpa kata.
Tak pernah saling berebut dan ribut tentang siapa yang akan berjalan di depan atau tertinggal di belakang,
karena aku ingin bergandengan tanpa ada payung abu-abu dari masa lalu. 

Sebodoh-bodohnya aku,
aku lah orang yang paling berhati-hati dalam urusan hati.
Seberani-beraninya aku,
aku lah manusia yang terlalu takut untuk jatuh cinta.


Malam ini, adakah hujan sudah reda? 

Tuesday 13 February 2018

Mendengarkan Musik Jazz

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@lucalotar?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Luca Lo Tartaro</a> on <a href="https://unsplash.com/?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>


Seperti biasa dan yang sudah-sudah, tidak pernah ada pertemuan yang benar-benar kita rencanakan. Mungkin hidup memang bukan soal kebetulan, tapi menemukan kamu adalah sebuah kebetulan dan mungkin kelak jadi pilihan yang akan selalu menyenangkan.

Kamu selalu datang tiba-tiba, di saat yang tak pernah bisa diduga. Seperti petir yang bergetar di langit siang hari tanpa ada pembuka hujan dan gejala alam lainnya, kamu muncul begitu saja tanpa dinyana. Lagi-lagi sebuah kebetulan yang sungguh menyenangkan untuk diterima dengan lapang dada.

Pada berbait-bait lirik musik jazz malam itu, kamu kembali muncul dengan warna bajumu yang selalu itu-itu saja. Menawarkan hal-hal baru tanpa kita perlu terlalu lelah untuk berusaha melakukan apa-apa. Apa-apa saja yang bukan kita dan tidak kita suka. Setelah berbait-bait lagu itu, kamu bertahan pada pilihanmu untuk tidak pulang. Menetap, berbaring di sebelahku, dengan tanganmu yang selalu berada di bawah bantal, entah sedang menggapai apa. Kamu yang pada malam itu begitu pulas bagai batu. Hanya ada napas-napas kita yang menderu, dan segala ketidakpastian yang kita abaikan, karena kita lebih memilih untuk terlelap dalam buaian dongeng-dongeng alam.Percayalah, berada di sebelahmu adalah cara tidur terbaik yang pernah ada. Memandangimu tidur adalah hal terbaik setelahnya.

Setelah berpuluh-puluh beratus-ratus cerita, kamu masih saja betah berlama-lama mendengar keluh kesah dan segala cerita dari mimpi-mimpi buruk saya. Tentang apa saja, tentang hal-hal yang terjadi di atas semesta. Termasuk kamu, dan segala jenis kombinasimu, yang ingin saya bekukan kemudian dibawa pulang. Kamu selalu berkata bahwa yang paling jahat adalah waktu, kini saya memahaminya. Tidak ada yang bisa diulang, tapi pernahkah kamu berpikir, apa mungkin pertemuan-pertemuan tanpa rencana ini sebenarnya adalah cara kita untuk mengulang cerita kemarin yang dengan mudah hilang ditelan waktu?