Friday 22 December 2017

Di Ketinggian Sekian Puluh Ribu Kaki

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@mikepalmowski?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Mike Palmowski</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/plane?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>


Di atas sini,
ada harap yang kalap,
dan ketidakpastian yang pasti,
menyelimutiku dari ubun-ubun hingga mata kaki.

Ternyata memikirkanmu lebih sesakkan dada
daripada harus bernapas dalam ruang hampa udara.
Bukan salahmu jika kali ini aku sepi.
Nyatanya terkadang manusia hanya mengamini apa-apa saja yang mereka kehendaki.
Dan yang kutahu,
menjauh dari gravitasi yang menarik jiwa jatuh terlalu jauh terasa lebih mudah,
dibanding hadapi rasa yang membuat hati berakhir gundah.

Di luar sana gelap, aku ingin terlelap.
Namun ada ketidakmampuan untuk menyentuh dunia mimpi,
sebab kepalaku tak henti-henti
menyanyikan lagu-lagu yang mengganggu.
Dan bercerita tentang segala macam luka yang menuntut lupa.

Ratusan mata-mata lain lelah mengantuk,
duduk termangu ketika makhluk-makhluk berseragam batik membagi-bagi roti.
Aku dingin, aku beku.
Aku hampir mati dikoyak-koyak sepi.

Thursday 21 December 2017

Anak Kecil

Anak kecil dalam diriku benci sepi. Ia ingin ramai bagai pasar dan jalanan ibukota di malam tahun baru. Ia ingin dengan mudah mencari dan beli ini-itu, memakan yang manis-manis hingga giginya berlubang dan copot satu-satu. Ia ingin ibunya kelimpungan mengomelinya karena ia ingin begadang nonton Srimulat saja malam itu.

Anak kecil dalam diriku hobi berlari-lari di padang rumput sore hari, dan gagal menaikkan layang-layang berkali-kali. Ia ingin naik sepeda keliling kampung hingga kulitnya menggelap bagai lempung. Ia seorang pemimpi yang ingin jadi penyair, pelaut, presiden, ahli geografi, serta mahir main perkusi. Ia ingin ke Eropa dan Australia kemudian berbicara pada koala.


Anak kecil dalam diriku suka berdoa pada Tuhan yang diyakininya ada dan akan selalu di sana. Anak kecil dalam diriku tidak takut berkhayal, berharap, dan menerka-nerka apa-apa yang bisa saja tidak ada. Anak kecil dalam diriku bersuka cita pada hidup yang luas di dunia kecilnya. Ia hanya tahu dua jenis cinta pria dari ayah dan adiknya. Anak kecil dalam diriku tak pernah pusing memikirkan nanti malam akan makan apa.

Sunday 9 April 2017

Membersihkan Beranda

Pagi-pagiku tak pernah diisi dengan kicauan burung.
Hanya ada deru-deru motor yang kudengar
di kejauhan dari kamarku yang ukurannya tak seberapa.
Dan piring kotor sisa aku makan semalam.
Dan cangkir-cangkir bersemut bekas minum kopi.

Aku akan menyapu beranda rumahku hari ini.
Menyapu bersih sisa hujan badai subuh tadi.
Membuang daun-daun kering itu ke tempat semestinya.
Atau mungkin membakarnya saja,
namun asapnya bisa jadi hal yang menjengkelkan bagi tetangga.

Tamu terakhir yang datang dan singgah
sudah kembali pulang ke rumahnya.
Ia selalu datang di akhir pekan
dengan gula-gula manis yang kumasukkan ke dalam cangkir kopi pahit.
Kukira ia akan jadi penghuni baru di rumahku kelak,
aku lupa ia hanya tamu.

Ia datang tiap akhir pekan
dengan cerita-cerita tak biasa.
Aku suka mendengarnya bercerita,
tentang apapun itu.
Aku mempelajarinya setiap saat,
dari cerita-ceritanya, dan dari caranya bercerita.
Kami selalu duduk di beranda rumahku di sore hari.
Ketika malam menjemput,
ia bilang ia akan pergi untuk beberapa saat karena ada urusan,
lalu akan kembali lagi di akhir pekan mendatang.

Suatu sore di akhir pekan, di berandaku,
aku kembali menunggunya
dengan dua cangkir kopi dan wajah berseri-seri,
namun ia tidak datang kali ini.
Aku menunggu berjam-jam.
Satu, dua, tiga jam. Hingga malam.
Ah kupikir mungkin ia tersesat,
lupa jalan ke rumahku,
atau ia sudah menemukan rumah baru dengan beranda yang lebih apik,
atau ia bosan dengan kopi buatanku,
atau sudah enggan bercerita kepadaku.
Atau bisa saja sesederhana ia hanya tak ingin datang lagi.

Hingga saat ini, sudah beberapa akhir pekan kulewati
dengan tetap menunggunya di beranda,
namun ia tak kunjung hadir dengan cerita-ceritanya.
Aku pun mulai kekenyangan menunggu
dengan pertanyaan-pertanyaan
yang tak kunjung dapat kujawab.

Jadi kuputuskan saja untuk membersihkan berandaku hari ini,
memperindahnya, menghiasnya dengan nuansa baru,
kalau-kalau nanti akan ada yang berkunjung lagi,
atau malah bersedia menetap
untuk menemaniku menjadi tuan rumah.
Bisa jadi orang lain, seorang asing yang baru.
Atau mungkin nanti ia akan datang lagi
di suatu sore di akhir pekan dengan cerita-cerita baru.
Atau malah tidak sama sekali.

Saturday 21 January 2017

Resah

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@weirick?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Jake Weirick</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/woman-coffee-shop?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>


Harusnya ikut kututup tirai-tirai langit itu
ketika matahari menyembunyikan rupanya
di balik selimut luas yang kausebut laut,
untuk sekadar menyamarkan gundah-gundah
yang tak patut kita sembah.

Bersama dengan sosokmu yang pudar
dalam hening-hening lampu temaram,
kupastikan aku masih dapat melihatmu
duduk menatapku nanar
dengan segala macam kegelisahan
yang tidak pernah benar-benar kauucapkan.

Aromamu selalu lebih tajam dari puluhan belati,
dan aku rela ditikam berkali-kali.
Sekali lagi kurengkuh tubuh ringkihmu yang meringkuk tertunduk,
di sela-sela jariku pada tiap-tiap helai rambutmu,
ada detak jantungku yang berderu menggebu-gebu.

Kuperhatikan terus wajahmu yang minim mimik-mimik,
senyum-senyum letih itu terus saja membuatku bergidik.
Dalam sisa-sisa tenaga yang kaupunya,
hangat tubuhmu tetap mampu memelukku begitu eratnya.

Kita telah cukup lelah menggapai sesuatu yang tak tercapai,
namun katamu belum tiba gagal itu,
dan belum saatnya berhenti menyusuri hilir yang dituju.

Katamu daun-daun dan ranting-ranting itu masih tumbuh,
dan keyakinan-keyakinan itu,
kaubilang kita hanya perlu bersungguh-sungguh.

Dengan segala ketidakmampuan merealisasikan bentuk-bentuk asa,
tetap setia kita teriakkan doa-doa kepada Dia Yang Esa.

Tuhan,
pada dinding-dinding hati yang merekah rasa gelisah berbongkah-bongkah,
resah-resah itu lenyapkanlah.