Sunday 8 December 2013

Incognito: Kekasih Frank dan Sihir Hujan #1


“Oh, God, it’s wonderful
to get out of the bed
and drink too much coffee
and smoke too many cigarettes
and love you so much.”

Bandung, 22.7.11 

Aku membaca tulisan tangan di halaman pertama buku yang baru saja kutemukan di atas salah satu meja di perpustakaan tempat aku biasa menghabiskan waktu selama berjam-jam. Yang barusan kalian lihat itu, itu merupakan bait terakhir puisi Steps milik Frank O’Hara, penulis dan penyair asal Amerika. Bagaimana aku tahu? Selain karena kalimat itu memang terkenal, juga karena aku penggemar berat tulisan-tulisan O’Hara. Bukan berarti aku homoseksual karena suka pria, hal seperti itu sama sekali tidak berlaku dalam dunia seni. Aku suka tulisan-tulisan O’Hara karena dia memang keren. Kalian harus baca karya-karyanya. Aku yakin kalian akan suka. Tapi, ya, itu kembali lagi kepada minat kalian terhadap karya sastra.

Omong-omong, buku yang kudapati ini berjudul The Perks of Being A Wallflower karya Stephen Chbosky. Buku ini terbit pada 1999. Aku tahu karena aku sedang membolak-balik isinya sekarang. Aku sudah menonton versi film yang dibintangi oleh Logan Lerman, namun belum pernah membaca bukunya. The Perks of Being A Wallflower bercerita tentang seorang anak laki-laki introvert bernama Charlie. Charlie pernah hampir bunuh diri karena depresi. Setelah itu ia sempat menjalani terapi rehabilitasi. Hidup Charlie kemudian berubah ketika ia bertemu dengan sepasang kakak-beradik tiri, Sam dan Patrick, di sekolah barunya. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka semakin dekat, dan Charlie akhirnya jatuh hati pada Sam—yang diperankan oleh Emma Watson. Ada beberapa kalimat terkenal dalam buku ini, salah satu yang aku suka adalah “Even if we don’t have the power to choose where we come from, we can still choose where we go from there. We can still do things. And we can try to feel okay about them.” Jika kau ingin tahu bagaimana kelanjutan ceritanya, silakan buka internetmu atau pergi lah ke toko buku atau perpustakaan.

Aku tidak yakin ini buku asli, aku hanya yakin umurnya bersama si pemilik belum terlalu lama, karena kertasnya belum jelek-jelek amat. Mungkin ini buku yang diberikan seseorang kepada seseorang lainnya pada tahun 2011 di Bandung. Sebagai hadiah, mungkin. Perkiraanku dari seorang pria kepada wanita. Itu semua aku lihat dari puisi yang tertulis di halaman ini. Aku tidak tahu mengapa aku harus menganalisa buku yang entah milik siapa ini sampai sebegitu detilnya. Satu hal lagi yang aku tahu, buku ini bukan milik perpustakaan di sini, karena tidak ada cap perpustakaan atau tanda-tanda lain yang menyatakan ini milik perpustakaan.

Di luar sedang gerimis. Aku tidak memilih buku apa-apa hari ini. Aku bukan sedang tidak berhasrat untuk membaca. Aku hanya sedang ingin melukis. Aku mengeluarkan sketch book berukuran sedang yang sudah setengah terisi beserta pensil warna, cat air, kuas, dan alat melukis lainnya. Aku tidak jago-jago amat dalam melukis. Aku hanya hobi. Orang-orang bilang lukisan-lukisanku bagus. Biasanya aku hanya tersenyum sedikit kemudian berterimakasih menanggapinya, sambil mengaminkannya di dalam hati. Teman-temanku yang lain juga selalu menyarankan aku untuk menjadikan ini sebagai profesi. Seperti membuka jasa lukis misalnya. Aku bukan tidak setuju dan tidak menghargai saran mereka. Ada benarnya juga, pikirku, tapi aku melukis karena aku mencintai seni lukis, bukan karena aku ingin menjadi kaya dengan melukis. Atau mungkin belum. Kalau aku melukis untuk uang, mungkin aku sudah berhenti melukis sejak bertahun-tahun lalu. Kalaupun aku ingin dapat uang dari melukis, paling tidak aku akan mengumpulkan dulu lukisan-lukisanku selama satu dekade kemudian membuat pameran, kalau-kalau nanti akan ada yang berminat membelinya. Itupun kalau aku punya modal untuk buat pameran. Jadi, aku lagi-lagi hanya tersenyum sedikit dan berterimakasih kepada teman-temanku atas saran mereka.

Aku melihat sekeliling, sore ini perpustakaan tidak terlalu ramai. Perpustakaan pada hari kerja memang tergolong sepi. Para pekerja yang tidak punya waktu kosong, jangankan hari kerja, akhir pekan saja mereka tidak akan ke sini. Ingin santai di rumah bersama keluarga, sahabat, atau pacar, katanya. Tidak seperti aku, pengangguran yang cuma bisa membaca seharian tanpa menghasilkan apa-apa. Bukan berarti perpustakaan hanya untuk orang-orang tidak berguna sepertiku. Tapi aku, untuk itulah aku ke sini. Aku tidak punya banyak kegiatan, jadi kupikir, setidaknya aku harus melakukan hal-hal yang sedikit banyak bermanfaat untukku. Membaca berjam-jam salah satunya. Sekalipun aku tidak dibayar untuk membaca dan melukis di sini, setidaknya aku bisa dapat ilmu.

BUK!

Ada sesuatu mengenai punggungku. Rasanya tidak sakit, namun tetap saja aku jengkel. Mengapa harus ada orang yang melempariku di tengah-tengah renungan ini? Aku mengalihkan pandanganku dari sketch book, kemudian berbalik. Aku mencari-cari kalau-kalau si pelaku masih ada di sekitarku, terlihat sedang lari tunggang langgang karena ketakutan. Tapi aku tidak menemukan apa-apa, hanya secarik kertas di lantai. Mungkin itu benda yang mengenai punggungku tadi.

After the first glass of vodka
you can accept just about anything
of life even your own mysteriousness
you think it is nice that a box
of matches is purple and brown and is called
La Petite and comes from Sweden
for they are words that you know and that
is all you know words not their feelings
or what they mean and you write because
you know them not to because you understand them

because you don’t you are stupid and lazy

and will never be great but you do

what you know because what else is there?”

-R-

Puisi ini rasanya tidak asing, aku rasa ini puisi milik Frank O’Hara, tapi aku pun tidak begitu yakin. Jadi aku memilih untuk membuka ponselku dan membuka catatan-catatanku. Aku membuka beberapa puisi, sampai akhirnya menemukan yang sama. Nah, kan! Ini As Planned, salah satu karya O’Hara. Lalu apa ini R? Inisial orang yang melempar kertas ini? Atau siapa? Sok misterius betul orang ini. Aku pun membandingkan tulisan tangannya dengan tulisan yang ada pada buku The Perks of Being A Wallflower. Berbeda. Aku kemudian merapikan kertas yang sudah tak beraturan bentuknya ini, berniat menyimpannya. Lumayan, tulisan tangannya bagus.

Setelah memasukannya ke dalam note yang berisi banyak kertas-kertas penting dan tidak penting, aku menyadari bahwa gerimis di luar sana telah berganti menjadi hujan. Aku cepat-cepat membereskan semua barang-barangku yang berserakan di meja, sketch book, pensil warna, dan barang-barang lain yang entah apa, menjejalkan semuanya secara paksa ke dalam ransel usang coklat milikku, termasuk The Perks of Being A Wallflower yang kutemukan ini.

Omong-omong, aku buru-buru begini karena aku bekerja sebagai barista di salah satu tempat minum kopi favorit di kota ini, mulai pukul 6 sore sampai 10 malam setiap harinya. Sudah hampir tiga tahun aku bekerja di sana. Awalnya aku iseng-iseng melamar ketika itu. Alasanku menjadi barista karena selain iseng, juga karena aku suka kopi. Oke, itu alasan klise lainnya. Ya sudahlah, tidak semua hal yang kau lakukan dalam hidup ini harus selalu punya alasan.

Aku tidak ingin terlambat masuk kerja karena terjebak hujan, jadi aku bangun dari dudukku kemudian berbalik untuk berjalan ke arah pintu keluar.

BUK!

Aku menabrak sesuatu—maksudku seseorang, di depanku yang entah siapa, kemudian jatuh terduduk. Pantatku sakit. Di depanku ada perempuan berkacamata yang sedang membereskan bukunya yang berceceran. Banyak sekali bukunya. Kutaksir ada sekitar enam sampai delapan buku. Aku tidak dapat melihat satupun judul bukunya karena tangan-tangannya yang cepat sekali memungutinya. Aku mencoba melihat paras gadis ini, tapi tidak bisa karena poninya jatuh menutupi sebagian wajahnya. Aku kemudian berinisiatif untuk menolong. Kuulurkan tanganku, kemudian ditepisnya. Ia lalu menatapku dengan penuh emosi sambil berusaha berdiri. Aku bisa menatap wajahnya dengan jelas sekarang. Cantik juga gadis ini, pikirku. Sebagai lelaki normal, aku sedikit deg-degan dan kikuk berhadapan dengan wanita, apalagi yang cantik begini. Hanya Pika, sepupuku, dan ibuku, wanita yang tidak pernah membuatku kikuk. Bukan berarti Pika dan ibuku tidak cantik, ya.

Gadis ini memiliki kulit berwarna kuning langsat. Tubuhnya langsing, lumayan tinggi, sejajar dengan hidungku. Rambutnya bergelombang sebahu, berwarna hitam pekat, dengan poni yang disisir asal ke samping. Alis matanya rapi dan lumayan tebal, matanya lebar, bulu matanya lentik, hidungnya tidak terlalu mancung, bibirnya yang mungil sedang manyun sekarang. Wajahnya Indonesia sekali. Aku tidak tahu dari mana aku bisa dapat ide wajahnya Indonesia sekali. Aku juga tidak terlalu paham bagaimana wajah wanita yang Indonesia sekali itu. Apakah alisnya harus bak semut beriring, bibirnya harus semerah delima, atau dagunya harus seperti lebah bergantung. Ah, sudahlah. Tidak usah dibahas.

“Jangan seenaknya membalik badan sambil berlari di tempat umum.” katanya datar dan dingin, matanya menatapku sangat tajam.

Aku tak bisa menjawab apa-apa. Aku bingung, entah aku atau dia yang sebenarnya salah. Namun sebagai pria, aku lebih baik mengalah pada wanita yang sedang emosi. “Maaf.” kataku akhirnya.

Ia mengabaikan permintaan maafku, kemudian berlalu begitu saja. Aku masih kaget dengan kejadian singkat barusan. Mungkin aku memang bersalah, atau mungkin hanya dia saja yang sedang sensitif. Namanya juga perempuan, barangkali ia sedang datang bulan. Meskipun gadis ini cantik, aku memilih untuk tidak memedulikannya. Kulihat ke luar ruangan, hujan turun semakin deras. Aku lebih baik bergegas. Sambil mengenakan mantel hujanku, aku mempercepat langkah berjalan menuju pintu keluar, kemudian menerobos hujan sore itu.


***


Perpustakaan ramai siang ini. Mungkin karena sekarang Sabtu, orang-orang tak berteman sepertiku akan semakin ramai datang ke sini, menghabiskan waktu berjam-jam sambil membaca berpuluh-puluh buku, sendirian. Berteman dengan benda mati itu sama sekali tidak menyedihkan, malah menyenangkan dan menguntungkan. Kau tidak perlu membayarinya makan, kau tidak repot mengatur waktu untuk bertemu, kau tidak akan kesal ketika acaramu batal karena benda mati tak akan membatalkan janji. Buku terlebih-lebih. Selain tiga hal menyenangkan yang aku sebutkan tadi, buku juga dengan senang hati memberimu segala-gala informasi tanpa perlu kau susah payah membalasnya untuk berterimakasih. Pepatah-pepatah klise mengenai keistimewaan buku boleh saja kau cemooh, tapi cobalah pandang secara objektif, itu semua benar. Buku itu gudang ilmu. Buku adalah jendela dunia. Sebaik-baiknya teman adalah buku. Nah, benarkan, berteman dengan benda mati apalagi buku itu menguntungkan dan menyenangkan. Aku tidak mengerti orang-orang yang tidak suka membaca. Apalagi ketika kau tidak punya banyak uang untuk keliling dunia dan melihat banyak hal dan kau pun tidak suka membaca buku, itu baru menyedihkan.

Aku membolak-balik kertas dengan puisi Frank O’Hara yang kudapat dua hari lalu. Aku masih penasaran siapa pelaku yang melemparku dengan ini. R. Mungkin Regina? Atau Rani? Atau, Riana? Duh, kenapa harus nama perempuan semua! Ya, ngeri saja jika aku harus membayangkan pria yang mengirimiku puisi seperti ini. Aku bergidik membayangkan.

Kalau dua hari lalu hujan deras, siang ini matahari terik sekali di luar. Untung saja ruangan ini berAC, kalau tidak, mungkin aku sudah mandi keringat sekarang. Bosan memikirkan siapa pelempar punggunggku tempo hari, aku memutuskan untuk melanjutkan lukisanku. Ini lukisan yang aku buat dua hari lalu. Sebuah pohon berukuran sangat besar, batangnya hanya bisa kau peluk bersama tiga orang lain, daunnya lebar-lebar, berwarna hijau segar, akarnya sebesar lengan muncul di sana sini di muka tanah. Aku tidak tahu apakah pohon seperti ini memang ada di dunia atau hanya hidup dalam imajinasiku saja. Pohon ini sebenarnya tidak ada istimewa-istimewanya. Aku kini menambahkan seorang gadis kecil sedang duduk memakan roti di bawah daunnya yang rindang. Gadis itu mengenakan rok terusan selutut berwarna kuning keemasan, rambut keriting berwarna coklat mengilapnya mencuat dari balik  topi bundar putih berpita yang sedang ia kenakan. Kubuat matanya lebar dengan bola mata berwarna biru terang, serta bibir kecil berisi berwarna oranye. Itu sudah cukup. Aku tidak perlu memberitahumu lebih lanjut tentang lukisanku. Itu sama sekali tidak penting.

Ketika sedang asik menuangkan hasil khayalanku pada sketch book, aku masih dapat melihat ada seseorang duduk di depanku. Sepertinya wanita. Aku mengalihkan pandangan. Ternyata benar. Seorang wanita sedang duduk memunggungiku. Rambutnya bergelombang sebahu, mengenakan jaket besar berwarna hijau tua. Tubuhnya sepertinya lumayan tinggi, dan langsing. Ia sedang menunduk, aku rasa ia sedang menulis. Aku membuka halaman berikutnya di sketch book milikku, kemudian mulai menggambar gadis itu. Aku tidak tahu mengapa aku bisa tertarik pada punggung seseorang seperti ini. Selama lima menit aku tenggelam dalam sketsa punggungnya.

“Hey, mengapa kau menggambarku!?”

Aku mendongak. Ternyata gadis yang duduk di depanku tadi sedang berdiri melongok ke dalam lukisanku. Aku gelagapan. Buru-buru kututup sketch book-ku. Aku tidak tahu entah sudah berapa lama ia berdiri di sana. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya. Bodoh!

“Mengapa kau menggambarku begitu?!” tanyanya lagi dengan intonasi lebih tinggi, wajahnya memerah karena menahan marah.

Aku masih terdiam dan bingung harus menjawab apa. Aku harus menjawab apa? “Sosokmu terlihat menarik dari belakang.” jawabku sekenanya. Ya, Tuhan, jawaban macam apa itu?

“Apapun alasanmu, aku tidak suka. Berikan kertas itu padaku.” sekarang nada bicaranya datar dan dingin sekali.

Merasa tidak punya pilihan lain, aku langsung merobek bagian tempat aku melukisnya tadi. Kemudian menyerahkan ragu-ragu. Gadis itu langsung menyambarnya. Wajahnya masih terlihat penuh amarah. Aku tidak tahu seorang wanita bisa sebegini murkanya.

“Maaf.” kataku akhirnya. 

“Sudah dua kali kau minta maaf padaku. Jangan sampai ada yang ketiga kalinya.” ucapnya lalu pergi dan menghilang dari hadapanku.


Masih dalam keadaan terkejut, aku mencerna kalimat gadis itu. Dua kali? Apa maksudnya dua kali? Aku terus mengingat-ngingat kalau-kalau aku per... Ah, aku ingat! Dia gadis yang kemarin kutabrak di sini dan bukunya berceceran semua! Duh, bisa-bisanya aku melupakan gadis secantik itu. Kali ini aku merasa aku tidak setuju dengan kalimat berangnya tadi. Aku kira harus ada pertemuan setelahnya. Jika itu harus menjadi permintaan maafku yang ketiga, aku rasa aku rela.


***


“Kau tahu, aku baru saja selesai membaca novel ini. Dan ini bagus. Kau harus membacanya.” Pika memperlihatkanku sebuah buku berjudul London: Angel milik Windry Ramadhina, malam ini di tempatku bekerja.

Aku mengambil buku itu dari tangan Pika, kemudian membolak-balik isinya. Sekarang sudah pukul 10.15 malam. Jam kerjaku sudah habis sejak lima belas menit yang lalu. Giliran temanku yang menjadi barista sekarang. Sedangkan tempat ini baru akan tutup pukul 2 dini hari. Ini dia, Pika, perempuan yang kusebut-sebut tempo hari. Ia adalah sepupu perempuanku satu-satunya. Karena sepupuku memang hanya ada dua. Sepupuku yang laki-laki adalah adik Pika. Ayahku dan Pika adalah dua orang saudara kandung. Pika sering datang ke sini. Kebetulan ia bekerja sebagai penyanyi band tetap di sebuah restoran tepat di depan tempatku bekerja. Biasanya Pika ke sini bersama teman-teman bandnya yang sudah kukenal dekat, tapi kali ini Pika datang sendirian. Kami biasa mengobrol sampai hampir tengah malam setiap harinya. Aku tidak pernah bosan bertemu dan bercerita tentang apapun dengan gadis ini.

“Apa yang spesial dari novel ini?” tanyaku kemudian.

Pika menyeruput latté yang beberapa menit lalu kubuatkan untuknya. “Novel ini bagus. Ini salah satu dari sembilan judul lainnya dari seri Setiap Tempat Punya Cerita. Sebenarnya banyak yang kisahnya mirip dengan ini, pria yang mengejar cinta seorang gadis. Namun, yang membuatnya istimewa adalah novel ini berlatar di London. Kau tahu, kan, betapa aku sangat menyukai london! Novel ini juga menggunakan karya-karya sastra dan lukisan abad-abad lalu sebagai pelengkap cerita. Kita jadi mendapatkan informasi judul-judul karya seni pada abad pertengahan. Kau pasti akan suka.” Pika menjelaskan padaku dengan lancar. “Oh iya, satu lagi yang aku suka. Di sini, tokoh utama yang bernama Gilang, bertemu dengan malaikat hujan yang dijulukinya Goldilocks. Kau tahu Goldilocks, kan?”

“The Three Bears? Robert Southney?”

“Tepat sekali!” jawab Pika girang.

“Lalu apa hubungannya malaikat hujan dengan Goldilocks?”

“Nah, malaikat ini mirip dengan Goldilocks, kulitnya, rupanya, rambutnya, apapun, mirip dengan Goldilocks.”

“Rambutnya berwarna kuning maksudmu?”

“Iya. Diam dulu. Aku belum selesai.” Pika melotot. Aku terkikik kemudian mengangguk, tanda menyuruhnya untuk melanjutkan. “Malaikat hujan ini hanya muncul ketika hujan. Tentu saja. Ia suka muncul tiba-tiba ketika hujan turun, lalu mengajak Gilang berinteraksi sebentar, kemudian hilang lagi. Begitu terus, hingga membuat Gilang penasaran.” lanjutnya bersemangat.

“Lalu sedang apa Gilang ada di London? Dia orang Indonesia, kan? Dan, mana ada malaikat hujan? Kau ngawur, ya?” cecarku.

“Aduh, kau ini. Dia ke sana untuk mengejar cinta seorang gadis. Sudahlah, kau baca saja sendiri. Aku pinjamkan ini seminggu. Itu sudah cukup lama untuk buku dengan tebal seperti ini. Hanya beberapa ratus halaman. Jangan telat mengembalikannya, atau kau akan kukenakan denda.” kata Pika sok galak.

Aku tergelak melihat tingkahnya. Aku kemudian mengambil buku milik Pika itu dan memasukkannya ke dalam ransel. Omong-omong soal hujan, aku jadi teringat kejadian ketika hujan hari Kamis lalu. Kertas itu masih kusimpan sampai sekarang. Tadinya aku bermaksud menceritakan hal itu pada Pika, tapi aku pikir nanti-nanti sajalah. Toh, Pika akan ke sini lagi besok, besoknya, dan besoknya, seterusnya setiap hari. Jadi kami memutuskan untuk membicarakan hal lain lagi sambil minum kopi, bersama angin malam menusuk tulang, semalam suntuk.


***


Hujan Kamis ini deras sekali. Aku terkurung di perpustakaan. Sekarang sudah pukul 4 sore, aku harus sampai di tempat kerjaku sebelum pukul 6. Aku mulai panik. Tidak, aku becanda. Aku hanya tidak tahu harus apa. Jadi, daripada bingung, aku memutuskan untuk melukis. 

Kali ini aku melukis seekor kucing. Mengapa kucing? Aku pun tak tahu. Lagi-lagi hal yang kita lakukan tidak harus selalu punya alasan. Kucingku jenisnya persia campur anggora. Sangat tidak jelas memang. Warna bulunya kuning keemasan dan hitam. Warna yang kontras. Aku sengaja memberinya warna begini kare...

BUK!

Sesuatu mengenai punggungku. Lagi? Aku buru-buru membalik badan. Kulihat sesosok wanita berlari menghilang di balik tembok sekat pemisah ruangan di perpustakaan ini. Aku langsung mengejar sosok yang kulihat sangat cepat tadi. Aku berlari tak kalah cepat. Ketika aku mencapai tembok tempat sosok perempuan tadi menghilang, aku menemukan pintu menuju halaman belakang perpustakaan. Aku berlari keluar perpustakaan kemudian berhenti karena aku sudah hampir basah kehujanan sekarang. Sambil mulai menggigil kedinginan, aku masih celingukan mencari sosok lincah tadi, namun aku tidak menemukan apa-apa. Sial. Aku kecolongan. Lain kali, aku akan tunggu kau, pelempar punggung.








To be continued...

Saturday 7 December 2013

Project ANN




ANN
Orang bilang, true love doesn’t come easy. You gotta meet the wrong person until you finally find the right one. I think I kinda agree with that. Tidak hanya dalam hal percintaan, namun keinginan-keinginan lain dalam hidup ini,  tidak akan mudah untuk didapatkan. Tapi sepertinya kali ini hal yang menimpaku agak keterlaluan. Keterlaluan karena aku harus merelakan lelaki idamanku lepas begitu saja dan menjalin hubungan dengan orang lain. Parahnya, kekasihku saat ini adalah sahabat lelaki idamanku. Complicated, right? Aku kadang bingung dengan diriku sendiri. Aku tidak tahu mengapa aku berani mengambil keputusan seperti ini, menerima seseorang yang sebenarnya tidak aku inginkan. Inna bilang, lebih baik dicintai daripada mencintai. Maybe she’s right. Dan kalimat itu bisa kujadikan alasan atas tindakanku memilih Dira yang jelas-jelas terlihat mencintaiku ketimbang Allan. Or maybe, I’m just out of my mind and I was making a big wrong decision for chosing Dira over Allan. You gotta meet the wrong person until you finally find the right one. I don’t even know which one is the rigth person for me: my boyfriend or the man I love. Yang pasti, tidak enak rasanya ketika kita harus mesra dengan orang yang tidak betul-betul ada di dalam hati kita di depan seseorang yang sudah lama kita impikan. It does really hurt like hell.


ALLAN
Bagi gue, tidak masalah kalau Ann menolak cinta gue dan kemudian menjadi pacar siapa saja, karena gue yakin apapun yang Ann pilih pasti yang terbaik untuk dia. She’s a smart girl and she won’t do things without thinking about it first. Tapi ini Dira. Ann jadian dengan Dira. Seseorang yang sudah bertahun-tahun gue anggap sebagai sahabat, bahkan saudara. Betapa hancurnya hati gue melihat Ann dan Dira mesra di depan gue setiap kali ada acara kumpul-kumpul bareng. Tapi gue sendiri juga tidak yakin apa Ann juga punya perasaan yang sama dengan gue. Gue pun tidak berhak men-judge hubungan dia dengan Dira, sekalipun gue tahu bahwa Dira itu playboy. And I really doubt that he’s good enough for her. Maybe it’s my fault for not showing her that I love her enough and not really fighting for her. Beda dengan Dira yang jago sekali menarik hati perempuan, I don't really know what to do if it's about someone I love. Or maybe it’s just Dira who is so fortunate. That lucky bastard! But wait, what if they really love each other? Shit!


DIRA
Gue punya julukan baru dari orang-orang di sekitar gue: playboy insyaf. Gimana nggak, gue yang selama ini selalu gonta-ganti pacar sambil nggak berhenti-berhenti selingkuh, pasang tiga cewek sekaligus, dan nggak pernah pacaran lebih dari dua bulan, sekarang bisa setia di satu orang. Semua teman-teman gue sampai shock karena gue bisa taubat begini. Jangan kira gue nggak punya alasan melakukan tindakan-tindakan bajingan seperti yang gue sebutkan tadi. Gue jadi begitu karena gue pernah dikecewakan seorang cewek yang gue anggap paling spesial dulu ketika SMA. Alasan klise seorang playboy? I know, right? Sejak itu gue nggak pernah serius pacaran. Sampai akhirnya gue ketemu seorang cewek spesial nan cantik dan baik hati: Ann. Cocok banget dia sama gue, anak band ganteng ini. Ann yang berhasil bikin gue nggak lari kemana-mana bahkan di saat gue sudah enam bulan lebih pacaran dengan dia. Ann yang bisa bikin gue nggak peduli dengan cewek-cewek cantik yang makin hari makin kesetanan mengejar cinta gue. Ann yang gue rasa nggak perlu tahu apa-apa soal masa lalu gue.

Saturday 28 September 2013

Teman Mendaki

Saya ingin mendaki puncak tertinggi denganmu;
Melewati batu-batu yang berjatuhan pada lereng-lereng curam itu,
berjalan di bawah rindang pohon-pohon hutan tropis tinggi menjulang.
Tersungkur oleh akar-akar tanaman sebesar lengan,
kemudian tiba pada tanah tertinggi berjam-jam kemudian,
disambut keajaiban dunia di atas awan.
Biru horisonnya membentang seluas pandang.
Pastilah khatulistiwa terlihat membentang jika ia kasat mata.
Mari buta berdua karena silau pada sumber yang sama;
satu titik sinar dunia super cerah yang berpendar ke tiap sudut semesta.
Kemudian kita akan bersuka cita memetik Edelweiss untuk cendera mata.
Saya bukan pendaki gunung ulung,
bukan pula petualang alam yang handal.
Namun saya bisa janji,
saya adalah teman mendaki paling amatir yang akan selalu membuat kamu cengar-cengir,
tak peduli seberapa deras peluh menetes di kedua sudut bibir.
Saya ingin mendaki puncak tertinggi dan menetap di sana denganmu selamanya.
Terjaga tiap fajar karena suara ribut burung-burung hutan mengepak kedinginan,
karena kulit perih memerah dikecup semut rangrang,
lalu minum air bening dari muka dedaunan.

Sunday 22 September 2013

Setiap Tempat Punya Cerita; London: Angel Review

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@heytowner?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">JOHN TOWNER</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/place?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>


Aku duduk di tepian plaza, di salah satu kursi beton yang berbaris rapi tidak jauh dari kincir raksasa yang bersinar putih kekuning-kuningan. Tubuhku meringkuk. Dua tanganku terkepal di pangkuan. Jemariku meremuk celana. Aku tengah menunggu dan waktuku kian menipis. Beberapa jam lagi, aku meninggalkan kota ini, tapi gadis yang ingin kutemui tak juga menampakan diri.


Lima hari yang lalu, aku datang dengan semangat luar biasa, dengan gairah mengejar cinta membara seperti api besar yang tengah melahap kayu di dasar perapian. Kini, aku lelah dan kehilangan asa. Kota ini telah mengikis habis harapanku lewat hujan yang turun hampir setiap waktu. Butir-butir air yang tercurah dari langit mencuri mimpi indah dalam benakku sedikit demi sedikit dan yang tersisa kini hanya kenyataan.

Kenyataan pahit.

Ah persetan, gadis itu tidak akan muncul.

Aku mendesah, lalu bangkit berdiri. Sepasang kakiku bergerak setengah hati, menjauh dari tempat pertemuan kami. Tepat ketika aku akan keluar dari plaza, seorang petugas keamanan berseragam biru tua menghampiriku.

"Maaf, Mister. Payungmu tertinggal," katanya. Dia menyodorkan sebuah payung merah yang terlipat rapi.

Aku memandangi benda tersebut dan tersenyum kecut. "Aku tidak membutuhkannya." Kugelengkan kepalaku.

"Tapi hujan baru saja turun."Petugas keamanan itu mengacungkan tangannya ke langit.

Hujan? "Hujan turun?"

Aku buru-buru menengadah, menatap jauh ke atas, ke kumpulan gumpalan kusam yang menutupi matahari. Detik berikutnya, sebutir air mendarat di wajahku, lalu menyusul butir-butir air yang lain dan tidak lama kemudian, seperti apa yang dikatakan oleh petugas keamanan itu, hujan membasahi London sekali lagi.

***


15 September lalu, saat sedang berada di Bandung, dalam rangka liburan semester genap, saya berkunjung ke salah satu mal yang bisa dibilang sangat digandrungi anak muda. Saya sendiri belum pernah ke sana sebelumnya. Maklum, sejak jadi mahasiswa, saya memang jarang sekali bepergian keluar kota. Ya, saya ke Paris Van Java. Sebuah mal yang cukup terkenal di kota Bandung. Namun kali ini saya tidak akan bercerita tentang bagaimana tempat itu. Melainkan, saya ingin bercerita sedikit tentang buku yang saya beli di Gramedia PVJ: Setiap Tempat Punya Cerita; London: Angel.


Setiap Tempat Punya Cerita; London: Angel oleh Windry Ramadhina

Buku bersampul merah nan sederhana ini karangan Windry Ramadhina. Ini merupakan buku Windry Ramadhina yang pertama kali saya baca. Sebelumnya Windry Ramadhina telah menulis empat novel, yaitu Metropolis, Orange, Memori, dan Montase. Setiap Tempat Punya Cerita (STPC) ini sendiri merupakan proyek kolaborasi pertama Gagas Media dan Bukune. Seri ini menggabungkan fiksi dan traveling experience. STPC memiliki total sembilan seri termasuk London: Angel. Kedelapan seri lainnya yaitu Paris: Aline oleh Prisca Primasari, Last Minute in Manhattan: Beri Cinta Waktu oleh Yoana Dianika, Roma: Con Amore oleh Robin Wijaya, Barcelona Te Amo: Masih Ada Skets Rindu Untukmu oleh Kireina Enno, Bangkok: The Journal oleh Moemoe Rizal, First Time In Beijing: Nostalgia Kisah Cinta Semusim Lalu oleh Riawani Elyta, Melbourne: Rewind oleh Winna Efendi, dan Swiss: Little Snow in Zürich oleh Alvi Syahrin. Kesemua seri tersebut ada di Gramedia kemarin, namun karena saya menyukai London (I don't know why I love London so much, probably because of their British accent :p ) akhirnya saya memilih London.

Seri Setiap Tempat Punya Cerita


London: Angel bercerita tentang seorang penulis berumur 26 tahun bernama Gilang. Gilang mempunyai seorang sahabat wanita sejak kecil yang juga sekaligus tetangga sebelah rumahnya. Gadis itu bernama Ning. Beberapa tahun belakangan, Ning pindah ke London dan kemudian bekerja sebagai kurator di Tate Modern, sebuah galeri di London yang memajang seni modern dan kontemporer dari tahun 1900an hingga sekarang. Di awal cerita, Gilang sedang ada acara minum-minum malam minggu di Bureau, Pondok Indah, Jakarta, bersama empat orang temannya, Brutus, Hyde, Dum, dan Dee. Mereka yang ketika itu sedang mabuk Jack Daniels, memberi tantangan pada Gilang untuk menyusul Ning ke London dan menyatakan cinta. Dalam keadaan mabuk, Gilang menyanggupi tantangan teman-temannya. Di hari berikutnya, keempat orang tadi memastikan Gilang tidak akan mengingkari perkataannya. Merekapun langsung mempersiapkan segala keperluan untuk perjalanan Gilang ke London. Sesampainya di London, Gilang malah sulit bertemu Ning karena ketika itu Ning sedang berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Alih-alih lancar bertemu Ning, Gilang malah bertemu terus-terusan dengan gadis yang ia juluki Goldilocks. Dijuluki begitu karena rupanya mirip dengan gadis berambut kuning dalam kisah Goldilocks and The Three Bears milik Robert Southney. Goldilocks hanya muncul ketika hujan turun dan akan langsung menghilang ketika hujan berhenti. Pria pemilik toko payung yang beberapa kali didatangi Gilang mengatakan bahwa gadis itu adalah malaikat. Begitu kata mitos orang jaman dulu. Gilang tertawa menanggapinya. Kejadian demi kejadian berlalu, Gilang pada akhirnya percaya bahwa Goldilocks memang malaikat yang turun bersama hujan. Di lain sisi, setelah akhirnya bertemu Ning, Gilang malah kemudian merelakan gadisnya itu memilih pria lain bernama Finn, seorang seniman yang meletakan karya-karyanya di Tate Modern. Itu dilakukannya setelah Gilang menyadari bahwa Ning tidak pernah menatapnya dengan penuh cinta seperti Ning menatap Finn.


***

Bahasa yang digunakan Windry Ramadhina dalam novel ini adalah bahasa baku, dengan sudut pandang orang pertama aku yaitu Gilang. Walaupun menggunakan bahasa baku namun maknanya mudah dicerna. Ketika membaca novel ini, saya merasa seperti sedang membaca novel terjemahan. Bisa jadi karena faktor bahasa dan cara penyampaian penulis. Windry Ramadhina juga mampu menyajikan karakter dengan apik dan membuat kita sedikit banyak merasa bagaimana menjadi seorang pria yang telah menyimpan cintanya selama bertahun-tahun pada sahabatnya. Kemudian rela melakukan hal gila: mengejar cinta ke benua yang berbeda.

London: Angel menitipkan pesan kepada kita agar menjadi orang yang berani mengambil resiko namun juga harus memakai akal sehat untuk saat mengambil keputusan. London: Angel juga mengajarkan kepada kita bahwa tidak semuanya akan berjalan sesuai rencana. Dan tidak semua hal yang kita rasa sia-sia memang berarti sia-sia. Bisa jadi ada takdir lain yang masih disimpan untuk kita, yang akan lebih baik tentunya.

Kepada para pembaca, Windry Ramadhina terang-terangan bilang ingin berbagi cerita tentang London beserta hujannya. Windry Ramadhina juga ingin berbagi kisah sendu bersama hujan yang romantis dan magis. Cerita ini untuk kalian para pencinta hujan. Selamat membaca! ;)

Wednesday 18 September 2013

Floor 1

Afternoon, broken heart.
Cold room, dry tears.
There's a friend.
Small talk, long time.

There's a boy, with a smile.
It got warm, no more cry.

Then I know he got love.
I'm numb, my head sores.

Two years passed, nothing's changed.
I don't know how to let go.

Sunday 18 August 2013

Belum Merdeka




Indonesia,
lagi-lagi bertemu 17 Agustus-mu.
Sudah 68 tahun kamu merdeka,
namun masih banyak penduduk yang kelaparan di luar sana.

Indonesia,
68 sudah bukan anak muda,
68 sudah cukup tua dan renta,
namun masih banyak rakyat yang hidupnya merangkak seperti balita.

Indonesia,
katanya sudah merdeka,
namun mengapa masih banyak yang diperlakukan semena-mena?
Melanggar hak asasi manusia.

Indonesia,
hukummu lancip ke bawah, tumpul ke atas.
Koruptor dihukum sekenanya,
maling ayam kalau bisa dipenjara selamanya.

Indonesia,
sudah setua ini namun apa-apa masih pakai cara kuda.
Mesti pakai siksa, baru mau dengar dan merasa jera.
Para penguasa makin seenaknya.
Entah memang tidak mengerti atau buta,
atau bahkan emang tidak punya hati nurani, hanya punya harta.
Namun Indonesia kan sudah tua, seharusnya sudah pada sadar diri saja.
Seharusnya sudah tahu mana yang benar dan mana yang bikin rakyat sengsara.

Indonesia,
tanah ini begitu kaya,
namun sayang, penguasamu gila harta.
Sebanyak apapun yang engkau punya,
takkan pernah mereka kenyang dengan harta pusaka.
Emas di gunung dikunyah, minyak di laut dijarah.
Katanya demi perut rakyat.
Demi rakyat di istana hasil maling dan demi perut buncitnya mungkin iya.

Indonesia,
suruhlah para tikus itu bertanya pada mereka.
Silakan tanya pada pengemis di jalan raya.
Silakan tanya pada gembel emperan toko.
Silakan tanya pada penambang batu, pendulang emas.
Silakan tanya pada anak bawah umur yang menyabung nyawa demi sesuap nasi.
Silakan tanya pada anak-anak penerus bangsa yang menempuh jarak kiloan meter tiap hari demi ketemu bangku sekolah.
Mereka pasti akan jawab, kita belum merdeka.


//Sabtu, 17 Agustus 2013//

Wednesday 14 August 2013

Mentari, Tuhan, Bulan

Mentari sudah jatuh lagi di ufuk barat.
Hangat siang tadi tiada sisa, habis terlumat.
Malam dingin kembali jadi sahabat.

Tuhan itu sangat sibuk.
Janganlah engkau pinta beragam macam.
Penuhi daftar maumu bulan lalu saja Ia belum sempat.

Bulan muncul, lalu mengikik, tertawakanmu yang banyak mau.
Tunjukkan syukurmu, ucapnya, malaikat jengah dengar kesahmu.


//June 3rd, 2013//

Wednesday 5 June 2013

Pengamen Makan Ramen


Masih dipelototinya halaman komik Jepang itu. Komik lusuh tahun 2000an yang dipinjamnya di tempat penyewaan buku milik Tuan Yamashita, keturunan Jepang yang sudah berpuluh tahun beranak pinak di nusantara ini. Ia masih tak bisa membayangkan, betapa enaknya rasa makanan yang sedang ia lihat di komik itu sekarang; Naruto makan ramen. Ia bukan ingin jadi Naruto, ninja ulung yang cara berlarinya bukannya unik, malah cenderung aneh itu. Ia ingin ramen. Mie yang berasal dari Jepang. Ia lah Eman, pengamen yang ingin makan ramen.



***

Ibunya, seorang tukang cuci yang cerewet bukan kepalang, sudah beratus kali bersumpah serapah bahwa tak ada ramen di sini, di tempat mereka tinggal, di lingkungan kumuh di pinggiran ibukota itu. Yang ada hanya sampah dan makanan sisa, yang kadang mereka dapati di tempat sampah juga.

"Kalo lu mau makan mie, sono beli di warungnya Mpo Minah." ujar Ibunya suatu ketika.

"Beda, bu. Eman maunya ramen. Bukan mie instan murahan itu." tandasnya serta-merta tanpa pikir panjang sang Ibu akan kembali murka.

"Murahan, murahan, kayak punya duit aja lu. Udah miskin, belagu!"

Eman menghela napas mendengar perkataan Ibunya. Mereka memang miskin, tapi entah kenapa hatinya begitu yakin ia akan dapat menikmati ramen suatu saat nanti. Eman saat ini berusia 14 tahun. Ia tak pernah sekolah, namun ia bisa baca tulis karena pernah diajari oleh kakaknya yang dulu sempat merasakan bangku sekolah hingga kelas 5 SD. Eman hobi sekali meminjam buku dari keluarga Tuan Yamashita. Selain bukunya yang bagus-bagus, biaya sewanya juga murah. Penyewa yang semuanya berasal dari lingkungan kumuh di pinggiran kota ini, dapat membayar sewa dengan apapun yang mempunyai nilai. Bahkan ketika Eman sedang tidak punya apa-apa untuk diberi, Tuan Yamashita memperbolehkannya membayar dengan sebuah nyanyian dari suara pas-pasan miliknya. Semua orang di lingkungan rumah Eman selalu bilang bahwa Eman lebih baik diam saja, tidak usah menyanyi, jadi pengemis saja mungkin akan lebih pantas, namun Tuan Yamashita tidak pernah mempermasalahkan hal itu.


Suatu sore, Eman sedang berada di rumah Tuan Yamashita bersama anak-anak lain. Rumah Tuan Yamashita berada di bantaran empang kotor dan busuk yang terdapat di lingkungan itu. Rumah Tuan Yamashita merupakan rumah tertua di sana, juga yang berukuran paling besar. Rumah itu telah ada sejak dulu, sebelum ada yang menempati lingkungan tersebut. Sebelum lingkungan kumuh itu menjadi kumuh.

"Tuan, apa Tuan pernah makan ramen?" tanya Eman kala itu.

Tuan Yamashita yang sekarang sudah melebihi 80 tahun tertawa kecil mendengar pertanyaan polos Eman. Dibetulkannya letak kacamata tua miliknya. "Tentu pernah." jawabnya. "Ramen itu makanan kesukaan penduduk Jepang." lanjut Tuan Yamashita sungguh-sungguh.

Eman terpana. Sungguh entah akan seperti apa rasa bahagianya jika ia juga dapat mencicipi makanan yang sudah lama diidam-idamkannya itu. Eman masih diam, berharap Tuan Yamashita akan kembali bercerita tentang ramen.

"Di Jepang tidak hanya ada ramen, banyak juga makanan enak lainnya. Dan juga tidak hanya ada makanan, namun hal lainpun banyak. Ada rumah megah, mobil mewah, semuanya ada." ungkap Tuan Yamashita lagi.

Eman semakin ternganga dengar cerita Tuan Yamashita. Entah itu benar atau tidak, ia percaya bahwa Tuan Yamashita yang baik hati tidak akan mungkin berbohong pada anak sepolos dirinya. Eman lantas kembali meminjam komik Jepang lainnya dalam jumlah yang lebih banyak. Ia membolak-balik lembar demi lembarnya, kalau-kalau akan ada cerita dan gambar lain tentang ramen bahkan tentang hal-hal indah yang barusan diceritakan Tuan Yamashita padanya. Ia masih terus ingin meyakinkan dirinya bahwa ramen memang enak. Setidaknya, dengan membaca komik-komik yang inti ceritanya tidak ada sangkut pautnya dengan ramen, ia merasa ia dan si ramen sudah semakin dekat. Semakin banyak gambar, tulisan, dan kisah tentang ramen, semakin baik dan dekat pula ia dengan ramen. Kini bahkan ia mulai tertarik untuk mengunjungi negara asal ramen, Jepang.

***

"Bu, Eman pengen ke Jepang, terus nanti di sana makan ramen." ucapnya suatu malam, ketika ia sedang berada di dalam rumah kardus berdua dengan Ibunya.

Ibu Eman kembali kesal, sebenarnya apa yang salah dengan anaknya ini. Kemarin ramen, sekarang Jepang. Alamat akan pecah perang lagi malam ini. "Ngapain lu ke Jepang. Jepang tuh pernah ngejajah kita." jawab sang Ibu sekenanya.

"Kan katanya cuma 3,5 tahun, bu."

"3,5 tahun sih 3,5 tahun, tapi ludes nih negara kita dibikin ama Jepang."

"Lamaan juga Belanda, bu. 3,5 abad."

Ibu Eman kembali memuncak dengar bantahan-bantahan yang keluar dari mulut Eman. "Lu ngerti apa soal sejarah Indonesia? Lu kaga pernah sekolah! Kaga usah sok tau. Kita ini miskin, makan aja susah. Pake acara mau ke Jepang segala." omel Ibunya lagi.

Eman mematung dengar kalimat Ibunya. Tidak pernah sekolah. Ia tidak pernah menginginkan untuk tidak sekolah. Keadaan yang membuatnya begini. Kalau ia bisa memilih, ia tak ingin hidup dengan keadaan seperti ini. Ia selalu ingat kalimat Tuan Yamashita padanya: tidak apa kita miskin, namun jangan sampai kita kehilangan semangat. Semangat untuk hidup, semangat untuk bermimpi, semangat untuk mewujudkan semua mimpi-mimpi itu.

Pelupuk mata Eman terasa hangat. Pelipisnya terasa basah, dialiri setetes air yang alirannya berakhir di ujung bibir. Rasanya asin. Eman bangkit berdiri kemudian menyeka air matanya. Ditatapnya sang Ibu lekat-lekat. "Eman emang ga pernah sekolah, bu Terus kenapa juga Ibu ga pernah sekolahin Eman?" ucapnya dengan suara serak dan badan bergetar hebat menahan tangis, lalu berlari secepat kilat keluar rumah, menjauhi rumah, semakin jauh dan jauh, bersama butir air mata yang menetes sepanjang jalan. Malam itu Eman berharap ia tak pernah dilahirkan.

***

Sudah tiga malam Eman pergi. Sejak malam pelariannya itu, Eman tak pulang, tak ada kabar berita. Sang Ibu mulai panik. Ia dan beberapa warga lainnya sudah mencari ke sana kemari, ke setiap sudut di lingkungan kumuh itu, namun hasilnya nihil. Sampai pada malam ketujuh, ada seorang tetangganya yang memberi kabar pada Ibu Eman bahwa Eman sudah meninggal karena keserempet truk ketika hendak mengamen. Kejadiannya baru beberapa jam yang lalu. Ibu Eman membeku, lidahnya kelat, tenggorokannya tercekat. Harta satu-satunya yang ia miliki kini telah pergi. Suaminya meninggal karena dikeroyok segerombolan preman ketika mereka tak mampu membayar hutang kalah judi, kakak Eman yang meninggal karena over dosis obat-obatan terlarang, dan sekarang Eman, Eman yang ingin sekali pergi ke Jepang dan makan ramen.

Perkampungan kumuh di pinggiran ibukota itu berduka. Eman pergi bersama segala macam mimpi tak biasa miliknya. Tak ada lagi Eman. Tak ada lagi sang pengamen yang begitu ingin makan ramen.

Sunday 2 June 2013

Selamat Malam

Saya benci harus berbagi kabar buruk ini lagi,namun entah sudah yang ke berapa ratus kalinya saya melewatkan malam Minggu tanpa ingat bahwa saya harus menyambangi rumah kamu.
Bawakan kamu sebuket bunga, atau mungkin yang lebih sederhana, cukup sebungkus martabak saja.
Berita baiknya, kamu tak pernah berkesah sekali saja tentang keabsenan saya mendatangimu, memberikanmu kenyamanan dalam ritual apel malam Minggu seperti sepasang kekasih lainnya.
Saya tahu, alih-alih merengek pada saya, kamu akan lebih sibuk berdoa pada Tuhan beserta malaikatnya untuk keselamatan saya bersama sang cakrawala.

Saya senang karena malam ini saya tak lagi harus melewatkan malam tanpa kamu.
Meski hanya malam ini saja, walaupun ini bukan malam Minggu juga, setidaknya saya punya kesempatan untuk kembali mengunjungi tempat kamu berada.
Saya tak perlu sentuh wajahmu, bukan karena saya kolot dan masih berpegang pada kalimat "Bukan muhrim." namun bagi saya, bawakanmu sebungkus minuman hangat lalu melihat senyum merekahmu itu saja sudah jauh lebih bermakna dan berwarna.
Saya tidak perlu berpuisi juga, kan? Atau membiarkan kerumunan lalu lalang ini menyaksikan ritual kali ini?
Sungguh tidak. Saya masih tetap memilih untuk membiarkan kisah kita disimpan rapi oleh sang malam.

Sekarang tidurlah. Saya harus pergi lagi.
Berdoalah pada Tuhan dan malaikatnya.
Berdoalah agar mereka tak lupa menyisihkan waktu untuk mengurusi segala macam ragam rasa gundah kita.

Sunday 31 March 2013

You



In the end, I think I know we're not gonna work out.
But I choose to stay with all of these circumstances.
Because those candies you bring me, I don't care how it will destroy my teeth,
I will just eat it and enjoy the sweet taste.
And you, all of those nice kindnesses in you, are just too tasty to pass over.

Tuesday 26 March 2013

Harmoni




Jika kamu rendah, jangan terlalu melulu meminta untuk tinggi.
Yang tinggi takkan tampak hebat jika kamu tak berdiri di sisi.

Jika kamu sedih, berbanggalah akan tiap tetes air mata.
Bukankah kita harus menangis dulu untuk tahu rasa bahagia?
Dan kadang harus tersungkur agar tahu apa arti bersyukur?

Jika kamu hitam, jangan ngoyo untuk jadi putih.
Papan catur takkan lagi dapat kamu atur jika warnanya hanya satu dan saling baur.

Menjadi seimbanglah.
Berselaraslah dengan mutlak pada  setiap jalan setapak yang kamu tinggali banyak rupa jejak.
Bersenanghatilah jika hari ini kamu berbeda dengan teman main, sahabat karib, atau bahkan saudara kandungmu.

Bukan hidup yang butuh harmoni.
Namun hidup adalah sang harmoni itu sendiri.

Sunday 24 March 2013

Gadis Payung



Gadis jelita itu berjalan terhuyung,
di bawah sisa gerimis dan langit mendung, menggunakan payung.

Matanya cantik, membuat kita seakan dilihat oleh keindahan lembayung.
Namun kini ia tampak murung.
Tatapnya tak lagi sedalam palung.
Senyumnya menyiratkan murung.
Ia tak lagi murah senyum.

Wahai gadis payung, kupinta kau untuk tersenyum..
Kami ingin menyaksikan elok wajahmu,
dan pipimu yang berlesung.






March 20th, 2013

Monday 11 March 2013

Sendiri?



Saya menatap lelaki yang tengah duduk bergeming di depan saya. Entah sudah berapa puluh menit saya tak diacuhkan olehnya. Sambil menyeruput iced lemon tea, saya menatap pria ini dalam diam. Ia sedang asik melamun, menatap kosong ke arah jam tangannya, seolah ada banyak hal menarik yang ia liat di sana. Saya menebak-nebak. Mungkin ia tengah menghitung, sudah berapa lama sosok perempuan kurus ini tak dihiraukannya. Atau mungkin ia bertanya, mengapa saya tahan duduk menatapnya berjam-jam dalam sunyi. Saya jadi tertarik untuk menghitung. Sudah lebih dari 5 jam kami duduk dalam hening di sebuah kafe kopi kecil di sudut jalan di pinggiran kota ini. 5 jam berarti 300 menit, berarti 18.000 detik, berarti 1.800.000 milidetik. Itu belum seberapa. Silahkan kali angka sejuta sekian itu dengan jumlah hari yang selalu kami lalui di sini, di kafe dan di meja yang sama, sejak 6 bulan lalu. Saya tidak akan menghitungnya lebih lanjut, itu malah akan membuat saya gila. Sisi baiknya, ternyata cinta bisa dihitung pakai logika matematika.

Saya kembali menatap lelaki di depan saya, masih kekeuh menatap gigih jam tangannya. Beberapa saat kemudian, ia menoleh pada saya. Kami saling tatap, entah berapa detik lamanya. Saya lantas menggenggam tangannya. Tak sesuai perkiraan. Saya menebak tangannya dingin, seperti mayat. Setidaknya itu kesan yang ia berikan melalui bibirnya yang pucat. Tapi punggung tangannya hangat, ternyata masih ada kehidupan yang tersemat.

'Jangan beri saya sentuhan kasihan.' Tiba-tiba bibirnya terbuka, suaranya pelan, berbisik, lembut, mengalahkan beludru. Sungguh tidak ada rasa kasihan dalam diri saya terhadapnya. Tapi tak apa, saya mengerti. Saya tidak ingin ia lebih menderita lagi dengan merasa diperlakukan begitu. Sayapun menarik tangan saya dan malah beralih menggenggam tangan saya yang lainnya.

'Terimakasih telah menemani saya selama ini.' Lanjutnya. Masih dengan suara sehalus dan semanis gulali. Saya ingin sekali menepis kalimat terimakasihnya. Itu sama sekali tidak perlu. Saya tidak butuh ucapan terimakasih miliknya. Saya yang dicap anti sosial malah teramat senang jika harus berbagi waktu dengannya setiap hari, meskipun di kafe yang sama selama berbulan-bulan, sungguh tak jadi masalah.

Ia begini sejak Ibunya, keluarga yang satu-satunya ia miliki, berpulang ke pangkuan Tuhan setengah tahun lalu. Saya sering bergumam, mungkin jiwanya pergi dan terbang bersama nyawa sang Ibu. Mungkin sekarang ruhnya di dimensi lain sedang duduk di pinggir kolam susu di surga di atas langit sana bersama orangtua itu sambil menonton bidadari tertawa merdu. Saya tidak mengerti tentang kehidupan setelah kematian. Saya awam soal itu. Namun saya sering merasa yang saya lihat dan temani setiap hari dalam 6 bulan terakhir ini adalah seseorang yang telah kehilangan nyawanya. Membayangkan jiwanya yang berada di alam lain itu membuat saya ngeri sendiri.

Ingin sekali rasanya saya memberitahu bahwa Ibunya berduka melihatnya seperti ini. Ingin sekali saya bercerita padanya bahwa dunia ini masih indah bersama segala rupa yang ada di dalamnya. Saya ingin mengingatkan bahwa Bumi punya 5 samudera, 5 benua dan triliunan manusia yang bernaung di bawah kubah biru indah yang kita namai langit. Saya ingin ia sadar bahwa pelangi itu cantik, bahwa bunga itu harum, bahwa hidup ini terlalu istimewa untuk disebut biasa saja. Hidup ini terlalu sempurna untuk dicela. Saya ingin ia tahu bahwa ia masih punya saya, yang setia memperhatikannya meratapi dirinya sendiri yang jiwanya terbang entah kemana. Saya ingin sekali membiarkannya tahu bahwa ia tidak perlu menangisi kepedihannya sendirian. Ia bisa pinjam bahu saya, atau jika memang ia tidak mau, saya, setidaknya, bisa memberikannya tissue dan segelas air putih. Sungguh tak ada yang perlu ia ratapi seorang diri dan terlihat begitu menikmati diamnya beserta siluet dari gemingnya sempurna. Tidak. Ia tidak perlu sendiri dan tidak perlu memilih untuk sendiri. Ya, tapi tak apa, saya mengerti. Kadang orang memang butuh ruang untuk dirinya, untuk bernapas dan menghabiskan oksigen sebanyak mungkin tanpa diganggu, untuk merefleksi dirinya, untuk mendengar suaranya sendiri tanpa dicampuri oleh bising yang lain.

Saya lantas kembali menggenggam tangannya. Ia menoleh. Saya tersenyum. Kali ini saya yakin, ia dapat merasakan bahwa tidak ada rasa kasihan dalam genggam tangan saya. Ia lalu balas menatap mata hangat penuh cinta milik saya dengan nanar. Namun kali ini saya merasakan bahwa tangan hangat miliknya balas menggenggam tangan saya. Erat. Benar-benar hangat. Setidaknya, respon sekecil itu sudah cukup bagi saya.

KITA

Orang bilang cinta itu rumit.
Lebih rumit lagi ketika harus menarik perhatian orang yang kamu cintai itu,
mungkin tujuannya agar balas mencintaimu.

Bagi saya justru sebaliknya. Atau mungkin malah bagi kita.
Kita tidak perlu banyak berkata untuk tahu apa yang kita rasa.
Kita tidak butuh  banyak suara, biarkan saja keheningan memecah suasana.
Kamu tidak perlu berkoar tentang politik, menggunakan mic, dan menggelitik para penguasa yang pantas dikritik.

Saya cukup mendengar kesunyian yang dipecah oleh gemingmu yang sempurna.
Atau mungkin mendengar dengkurmu di dalam hari yang selalu berhasil membuat saya terjaga dan merasa dijaga.
Atau bahkan menyimak igauanmu yang ngalur ngidul entah kemana.

Saya tidak mengerti puisi cinta, atau filosofi dibalik sebuket bunga mawar berwana merah, merekah.
Saya hanya mengerti bahasa dari setiap anggota tubuh yang kamu gerakan.
Saya hanya mengerti isyarat dalam setiap senyum yang kamu berikan.
Saya lebih suka membiarkan perasaan kita menari, bernyanyi, saling mengalir dalam banyak arti, tanpa harus dipaksa untuk mengerti.
Saya hanya akan membiarkan ketertarikan ini terisi oleh kita, duduk berdua, dalam diam di sebuah ruangan gelap, terlihat hampa namun bercerita.

Kita sungguh lebih dari sebuah kata cinta.
Kita sahabat, kekasih, saudara.
Makna kita berada di atas segalanya.

Wednesday 27 February 2013

Chapter I

Aku menatap menembus jendela berkaca bening yang basah. Butiran air mengalir tepat di sana. Aku masih menempelkan hidungku pada kaca yang terasa begitu dingin. Rasa-rasanya butir-butir air tawar yang jumlahnya banyak itu seperti hendak mengenai wajahku ketika meleleh pada kaca. Dudukku pada sofa sudah tak tegak, semakin merosot ke bawah. Aku berusaha membetulkannya. Dengan enggan kutarik hidungku dari jendela. Kini aku malah termangu menatap pemandangan di depanku. Gedung pencakar langit, atap rumah yang begitu padat, jalanan basah yang tak kunjung sepi.


Sungguh, lama-lama aku muak dengan keadaan seperti ini, hidup di bawah atap apartemen di lantai 9 di kota Metropolitan yang makin lama makin membuatku jengah. Tak ada istilah ngerumpi tetangga, menyiram bunga, nonton anak-anak perempuan main congklak, apalagi melihat bocah-bocah tanpa beban itu berlarian di halaman. Tidak, tidak mungkin kan aku melihat anak-anak berlarian di halaman sementara yang aku dan penghuni apartemen lainnya punya hanya balkon seluas ini, maksudku sesempit ini. Bahkan sepertinya akan lebih indah kalau aku tinggal di sebuah rumah susun saja, setidaknya masih ada interaksi rutin minilai dua kali sehari pagi sore dengan tetangga sekitar.

Jika aku turuti keras hatiku, aku tidak akan mau tinggal di ruangan setangkup ini. Kalau orang bilang tinggal di apartemen itu asik, parlente, tidak begitu bagiku. Mana mungkin aku masih bisa berpikir bahwa apartemen ini begitu keren untuk jadi tempat tinggal setelah aku merasakan bagaimana memuakkannya tinggal di tempat yang seharusnya kusebut rumah ini. Belum lagi temanku tinggal di sini, seorang janda berumur 40 tahun, yang hobinya minta duit mantan suami dengan dalih untuk makan anak perempuan semata wayangnya, yang hobinya pulang jam 3 pagi dan membuat seisi ruangan semerbak alkohol dan rokok yang menyesakkan hidung. Ya, dia orang tua perempuanku. Aku memanggilnya Mama.